Tuesday, December 16, 2008

Kekerasan Terhadap Anak, Karya Ifoed


Waktu 60 Menit, Mengantarkanku Jadi Juara

Tanggal 12 November 2007, hari itu aku benar-benar sibuk, pagi itu deadline pekerjaan pembuatan komik iklan untuk majalah anak. Profesiku adalah kartunis, selain menjadi kartunis freelance aku juga menjadi konsultan desain visual untuk beberapa lembaga asing di Jakarta. Walaupun menjadi kartunis bukan cita-citaku, tapi sekarang aku sangat menikmati pekerjaanku ini. Di KTP aku tulis pekerjaan: Kartunis. Aku merasa bahwa profesi kartunis itu sama dengan profesi-profesi yang lain, walaupun masih belum umum bagi masyarakat di sini. Hampir separuh hidupku aku jalani menjadi kartunis. Suka duka menjalani profesi kartunis sudah aku rasakan, lebih banyak sukanya daripada dukanya.
Aku juga pernah bekerja sebagai kartunis tetap di majalah Humor dan majalah anak Ina. Tahun 2000 aku mendirikan Communicartoon studio, sebuah usaha di bidang jasa yang menangani beberapa pekerjaan yang berhubungan dengan humor, kartun dan desain grafis. Hasil karyaku berupa ilustrasi, komik kartun, iklan untuk majalah dan koran, karikatur, kartun, cover buku, dan karya desain grafis. Puncaknya ketika aku dipercaya untuk membuat sebuah film animasi berdurasi 1 jam.
Waktu menunjukkan pukul 08.20 WIB, aku kirim materi iklan yang sudah selesai aku kerjakan untuk majalah anak melalui internet ke klien. Teknologi internet banyak membantu dalam hal pekerjaanku, terutama mengatasi waktu yang sangat terbatas dalam pengiriman hasil karya ke klien. Dengan internet pula praktis aku lebih banyak bekerja dan ngantor cukup di rumah. Aktivitasku setelah bangun tidur dan sholat subuh, aku bisa langsung bekerja dalam kondisi fresh. Kantornya km 0. Sebuah impian yang menjadi kenyataan sekarang ini.
Lega rasanya setelah melewati deadline pertama hari itu. Karena sejak beberapa hari lalu aku mengerjakan iklan tersebut. Perasaan lega ternyata cuma sebentar, karena hari itu juga deadline lomba karikatur KOMNAS HAM tingkat Nasional dengan tema kekerasan anak. Adrenalinku kembali terpacu waktu melihat pengumuman lomba tersebut.
Informasi lomba sebenarnya sudah lama aku peroleh, namun karena pekerjaan yang lumayan banyak waktu itu, menjadikan aku belum fokus membuat karya untuk lomba Karikatur KOMNAS HAM tersebut.
Rasanya sudah cukup lama lomba karikatur semacam ini tidak diadakan di Indonesia, makanya ketika tahu informasi ada lomba tersebut, dengan semangat 45 aku sangat menggebu-gebu ingin ikut menjadi peserta lomba tersebut. Bagiku ikut lomba salah satu tujuannya adalah untuk menguji kemampuan, kalaupun menang atau kalah adalah hal yang tidak terlalu aku pikirkan. Itu hanya efek sampingan saja. Yang penting aku berkarya sebaik mungkin dan optimis. Aku suka bilang ke teman-temanku ”Menang dalam suatu lomba itu urusan nomor 5.......urusan 1 sampai 4 itu nggak ada, he-he-he!”
Kembali aku cerita ke persiapan lomba. Untuk lomba waktu itu seperti biasanya aku selalu mencari bahan untuk ide sesuai dengan tema lombanya. Ide lomba aku cari dari koran, majalah, buku kartun juga di internet. Setelah ide-ide cukup aku dapatkan, baru aku eksekusi menjadi visual atau gambar dalam bentuk sket terlebih dahulu.
Aku merasa beberapa ide yang sudah aku dapatkan rasanya belum cukup pas dan sreg. Sampai pagi hari, ide yang aku anggap cukup kuat baru ada satu, untuk nambah ide lagi rasanya sudah buntu kepala ini. Mendengar bunyi detak jam dan suara degup jantungku rasanya seperti dikejar waktu yang semakin mendekati finish.
Pagi itu aku sempat telepon panitia lomba, menurut panitia deadline pengiriman sampai jam 16.00 WIB. Selesai telepon panitia aku langsung menghitung waktu efektif yang ada sekarang, waktu untuk untuk bikin gambar dan waktu untuk pengiriman. Praktis hari itu hanya tinggal ada waktu 6 jam yang harus aku manfaatkan dengan baik. Untuk membuat gambar aku butuh waktu kurang lebih 3,5 jam, sisanya untuk pengepakan karya dan pengiriman.
Setelah berdoa aku langsung visualisasikan idenya. Waktu menggambar rasanya hati ini yakin dan mantap betul. Dalam pikiranku hanya ada satu fokus: selesaikan segera dan kirim. Bekerja di bawah tekanan deadline membuat adrenalin dalam tubuhku mengalir cukup deras. Aku bersyukur dulu pernah bekerja di media massa kurang lebih 10 tahun, di situ aku bener-benar digembleng bekerja dengan tekanan dead line yang cukup ketat. Hasilnya sekarang aku terbiasa untuk lebih tenang dalam situasi tertekan dalam mengerjakan sesuatu pekerjaan. Dan hari itu aku merasakannya, walaupun tegang namun aku masih bisa mengontrol urat-urat tanganku dalam setiap tarikan kuas dan pensil yang aku torehkan di atas kertas. Aku berusaha membuat karya terbaik. Satu kali sempat aku gagal dalam menyelesaikan karikaturnya, kemudian aku membuat lagi dan aku anggap karya yang ke dua itu sudah pas dengan ide dan visualnya.
”Mak Plong” rasanya hati ini ketika aku menuliskan namaku di karya tersebut, sebagai tanda karya sudah selesai. Tugas selanjutnya adalah menyiapkan persyaratan lomba dan memasukan bersama karya ke dalam amplop untuk dikirim. Praktis hanya satu karya yang bisa aku kirim hari ini. Walaupun cuma satu karya tapi hati rasanya pede sekali waktu mengirimnya. Pukul 14.30 Wib semua siap untuk dikirim. Pengiriman rencananya akan aku antar langsung ke panitia lomba. Lewat pos atau kurir rasanya nggak mungkin sampai sore itu.
Aku tinggal di wilayah Bintaro, perkiraanku butuh waktu 1,5 jam untuk sampai di Kantor KOMNAS HAM di Menteng Jakarta dengan mengendarai sepeda motor.Bagiku sepeda motor adalah sarana transportasi yang paling bisa diandalkan untuk mengejar waktu. Di Jakarta yang serba semrawut dan macet, pilihan menggunakan kendaraan sepeda roda dua ini adalah pilihan yang pas untuk mobilitas yang tinggi dalam membantu kelancaran pekerjaan. Dengan berkendaraan bermotor masalah waktu tempuh pun masih bisa kita perkirakan dengan tepat. Tidak salah lagi pilihanku pada siang hari itu untuk mengantar karya lomba tersebut dengan naik sepeda motor. Perjalanan menuju kantor KOMNAS HAM siang itu tidak terlalu banyak hambatan, kalaupun ada kemacetan di jalan adalah hal biasa di Jakarta, dengan sepeda motor aku bisa menerobos kemacetan dengan lebih cepat.
Tepat pukul 15.30 Wib sampailah aku di Kantor KOMNAS HAM tepatnya di jalan Latuharhary Menteng. Perjalanan dari rumahku sampai kantor KOMNAS HAM aku tempuh selama 60 menit. Dari deadline panitia yang sudah ditentukan masih ada waktu 30 menit untuk menyerahkan karya ke panitia.
Di kantor panitia ternyata ada beberapa teman-teman kartunis lain yang juga baru mengirim karya sore itu. Rupanya kebiasaan kirim lomba pada detik-detik terakhir itu juga mewabah di kalangan para kartunis. Lagi-lagi ”Mak Plong” rasanya hatiku ketika menyerahkan amplop coklat yang berisi karya lomba ke panitia lomba.
Di panitia lomba beberapa teman kartunis bertanya ke padaku ” Amplopnya tebel banget, pasti kirim gambarnya banyak, ya...” Aku hanya tersenyum, padahal karya cuma satu, tapi aku kemas dengan melindungi karya tersebut dengan sterofoam, jadi kelihatan amplopnya tebal. Aku mengucapkan syukur Alhamdulillah. Sekarang tinggal menunggu hasil pengumuman lombanya.
Pada 30 November 2007, hari itu adalah hari yang sangat membahagiakan buatku, sore tadi aku mendapat telepon dari kantor KOMNAS HAM dari panitia lomba karikatur, mereka menyampaikan berita kalau aku keluar sebagai juara I dalam lomba karikatur tersebut. Aku mengucapkan rasa syukur Alhamdulillah kepada Allah atas anugerah ini.
Malam harinya aku menerima telepon dari teman-teman yang memberi ucapan selamat atas keberhasilanku, rupanya pengumuman hasil lomba juga sudah ditayangkan di website KOMNAS HAM sore itu.
Keberhasilanku kali waktu itu adalah berkat ihktiarku yang maksimal, doa dari orang tua juga dari keluargaku dan pertolongan dari Allah. Sebagai juara I aku berhak mengantongi hadiah uang 10 juta. Aku senang dan bangga dengan hasil yang telah aku capai, setelah menyisihkan seluruh peserta lomba dari segala penjuru negeri dan meyakinkan dewan juri untuk memilih karyaku sebagai yang terbaik di antara yang baik.
Hari itu menjadikan diriku semakin yakin dan mantap dengan profesiku sebagai kartunis, dan koleksi penghargaanku juga semakin bertambah. Ketika aku melihat ke luar jendela, kulihat sepeda motorku di teras rumah. Dalam hati aku berkata ”Walaupun wujudmu cuma benda mati tapi di mataku kau adalah sahabat sejatiku. Terima kasih sahabatku, perjalanan 60 menit kemarin telah menghantarkan aku menjadi seorang juara.”

Ifoed, Kartunis Kokkang tinggal di Tangerang.

Friday, December 05, 2008

Dompet Sanggar Kokkang!




Dalam usianya yang ke 26 (versi real time: 27 tahun) kas Kokkang telah terkumpul lumayan mengagetkan, yakni Rp10.000.000 (baca: sepuluh juta {bukan dollar AS} tapi rupiah). Sebuah jumlah yang sangat suci karena ia tercipta dari cucuran keringat dan kerja keras anggota Kokkang sekian tahun. Padahal, Kokkang bercita-cita dapat membangun sebuah bangunan di suatu tempat di wilayah Kaliwungu, Kendal, Jateng, yang di dalamnya dapat berfungsi sebagai:
1. Sarana belajar calon anggota baru – semacam sanggar belajar mengartun
2. Sarana penyelenggaraan workshop kartun yang dapat mendatangkan orang-orang ahli dari luar Kokkang
3. Sarana penyelenggaraan seminar/diskusi tentang kartun, karikatur, kesenian atau kebudayaan dalam arti seluas-luasnya
4. Sarana penyelenggaraan pameran kartun bagi anggota Kokkang maupun di luar Kokkang
5. Sarana kegiatan mengartun para anggota Kokkang 24 jam sehari semalam open house
6. Sarana penginapan sekadarnya bagi para kartunis atau tamu dari luar Kaliwungu Kendal dalam konteks Kokkang mengundang atau memerlukan kunjungan tamu tersebut
7. Sarana penyelenggaraan perpustakaan manual/digital tentang kartun/humor/dan produk referensi seni/budaya lainnya
8. Sarana penyelenggaraan produksi merchandize atau gift yang dapat dikoleksi pengunjung; seperti kaos, buku, gantungan kunci, mug, payung, tas, selampe, sandal dan lain-lain benda souvenir yang berbasis desain kartun
9. Sarana penyenggaraan laboratorium informasi Kokkang meliputi: media cetak, media elektronik dan media cyber (internet)
10. Sarana penyelenggaraan sekretariat Kokkang dalam pengertian sefungsional-fungsionalnya.
Untuk dapat mengakomodasi proyeksi Sanggar Kokkang tersebut, paling tidak diperlukan: tanah di tempat yang strategis (dekat jalan raya atau jalan kota) kurang lebih 500 hingga 800 m2. Bangunan-bangunan yang diprioritaskan meliputi: a) bangunan utama; b) bangunan depan/joglo/gazebo; c) bangunan kanan dan kiri; d) bangunan belakang; e) tempat parkir; f) tata taman/eksterior dan lain-lain. Ruang-ruang dalam bangunan berfungsi untuk: ruang tamu/joglo; ruang belajar/sanggar belajar; ruang pameran/ruang diskusi; ruang kerja kartunis; ruang workshop; ruang perpustakaan; ruang laboratorium informasi; ruang produksi benda-benda souvenir; ruang jualan souvenir; ruang penginapan; ruang sekretariat Kokkang dan lain-lain. Properti yang dibutuhkan meliputi: meja, kursi, almari, perlatan komputer, penerangan, tikar, tempat tidur untuk penginapan, rak-rak buku dan lain-lain untuk perpustakaan, peralatan pameran/partisi/tata lampu karya, catu daya listrik minimal 2200 wtt hingga 5000 wtt, rest room/kamar mandi dan toilet (3 unit) dan lain-lainnya.
Memang cukup kompleks dan ambisius, karena secara pariwisata sosok Kokkang juga cukup fenomenal dan dikenal masyarakat dari luar Kaliwungu; tetapi popularitas Kokkang yang telah membebani image para anggotanya, termasuk sebagai komunitas yang berpikir lokal beraksi global, proyeksi tersebut di atas masih dalam taraf yang wajar dan belum ugal-ugalan. Kalau misalnya proyeksi itu diharapkan terealisasi maksimal tahun 2010, maka estimasi biaya yang diperlukan berkisar antara 350 juta hingga 500 juta rupiah. Minimal kekurangan 340 juta atau maksimal 490 juta rupiah, karena di opersional Kokkang telah tersedia sedikitnya 10 juta rupiah.
Upaya untuk mendapatkan dana yang “tidak begitu banyak” itu dapat ditempuh dengan beberapa cara sebagai berikut:
1. Seluruh anggota Kokkang (termasuk Ketua dan Pembina; di Kaliwungu maupun di tempat lain) diwajibkan membuat lukisan di atas kanvas dengan cat minyak atau akrelik yang berbasis ide kartun. Seluruh karya itu kemudian dipamerkan (minimal di Semarang atau di kota-kota besar lain di Indonesia) kemudian setelah selesai pameran, seluruh karya itu dilelang dan hasil penjualan lelang setelah dipotong administrasi operasinal penyelenggara dimasukkan ke kas Kokkang untuk deposit anggaran pembangunan Sanggar Kokkang.
2. Melakukan kerja sama dengan Industri Batik Pekalongan yang pernah tertarik untuk mengakomodasi desain kartun dalam motif batik tulis/cetak sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Sdr. Masturi Safaat awal Desember 2008 lalu.
3. Menunggu datangnya angin sorga dari “Orang Gila” yang tajir banget sehingga mau membantu sebagai donatur tak mengikat dalam pembangunan sanggar Kokkang dan namanya akan diukir dalam memorabilia Kokkang secara abadi sebagai pahlawan bagi kartunis Kaliwungu atau Kokkang. Atau “Orang Gila” itu seorang hamba Allah yang rendah hati dan tak ingin namanya diketahui orang banyak. Beliau hanya ingin membantu dan itu semata-mata demi mendapatkan Ridha Allah.
4. Menyiapkan proposal pengajuan bantuan kepada fund-fund atau foundation (dalam negeri atau luar negeri) agar dapat diberi pinjaman atau bantuan berupa “Grand” (tidak mengembalikan karena bersifat hadiah/bantuan) dan bukan “Loan” (yang harus mengembalikan, karena bersifat utang).
5. Mengajukan proposal kepada industri-industri kreatif terkait yang relevan dengan kompetensi dan kapabilitas Kokkang sebagai komunitas yang memiliki banyak tenaga kreatif di bidang desain, sinema (kartun), ilustrasi dan lain-lain jasa yang berkaitan dengan produk karya kartun. Sharing apa yang dapat dilakukan Kokkang sehingga mendapatkan umpan balik berupa “dana massal” karena kontribusi Kokkang pada industri tersebut.
6. There is a will, there is a way, itu kata peribahasa berbahasa keriting yang artinya, di mana ada kemauan di situ ada jalan. Nah kita tunggu apakah benar otak kartunis Kokkang memang selalu dipakai atau dibiarkan buncret tergilas ganasnya zaman; cobalah tulis gagasan kalian (termasuk buatlah desain Sanggar Kokkang yang baru dan beda dari yang termuat kali ini), segila dan senaif apapun yang namanya gagasan selalu penting; karena ia akan memicu datangnya gagasan lain yang ternyata menjadi solusi jitu bagi persoalan kita bersama. Sekian semua gagasan itu dapat dikirim ke email kolomnis@gmail.com atau ke email saya langsung. Semoga Tuhan selalu membimbing dan memberi jalan keluar bagi keinginan dan cita-cita kita. Insya Allah.
Salam kreatif,
Gus Dar, Ketua Dewan Syuro Kokkang eh, pembina Kokkang
darmintomsudarmo@yahoo.co.id

Thursday, December 04, 2008

26 Tahun Kokkang, Bukan Sekadar Penggembira


BAGI pembaca awam yang sering menjumpai inisial Kokkang di bawah sebuah gambar kartun di berbagai media cetak (ibukota maupun daerah) mungkin sering bertanya-tanya, penanda apa kata Kokkang itu? Kokkang adalah sebuah kelompok atau paguyuban kebudayaan yang berarti Kelompok Kartunis Kaliwungu, berlokasi di sebuah kota Kecamatan di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Para pengamat acapkali melihat kiprah Kokkang dari kaca mata romantisme dengan pengharapan yang sangat berlebih. Belasan tahun yang lalu, GM Sudarta pernah menyinggung Kokkang di Majalah Prisma dan melihat keunikan komunitas ini yang menebar di berbagai kampung dan bahkan dari satu keluarga terkadang dijumpai dua atau tiga kartunis sekaligus. Belum lama, Jaya Suprana, penyebar wabah humor di Semarang pada tahun 80-an, juga bertanya dengan nada khawatir kalau-kalau eksotisme Kokkang sudah larut oleh kikisan waktu dan berakhir dengan kepunahan; artinya, romantisme Kokkang yang unik itu, tak ada lagi. Sementara itu, tak kurang dari sekian puluh media cetak (koran/majalah) maupun TV yang telah mengekspose dan memprofilkan apa dan siapa di balik paguyuban yang hingga kini tetap survive itu dengan pendekatan yang sama: romantisme sebuah warisan budaya yang masih hidup.
Semua respon itu sungguh besar artinya bagi Kokkang. Terutama kaitannya dengan interaksi budaya yang bisa ditumbuhkan dan dilestarikan bagi lingkungan sekitar. Namun dalam perjalanannya yang sudah 26 tahun (bulan Mei ) tahun 2008, Kokkang tak sadar telah terjebak pada putaran arus untuk tetap menjadi eksotis dan naif guna memberikan kegembiraan bagi pihak luar yang mengherani keanehan maupun keunikan-keunikannya. Semacam heritage yang dipaksakan. Mengapa demikian? Karena pilihan itu mengandung konsekuensi yang cukup siginifikan bagi para pelaku (kartunis) yang berkiprah di dalamnya; sementara itu fakta di luar tak bisa dielakkan, lahan untuk berkarya para kartunis makin menyurut kendati jumlah media cetak secara kuantitas justru makin berlimpah. Kekhawatiran yang bisa timbul adalah Kokkang akan bubar dan warisan budaya itu tinggal kenangan bila tak ada lagi media massa/cetak yang menyediakan diri untuk ekspresi mereka. Ini artinya, pendekatan romantisme acapkali melupakan siklus kehidupan yang sangat vital antara proses berkarya dan sesudahnya.
Selain melihat Kokkang dari kaca mata eksotisme tadi, akan lebih sehat, jika kita juga melihat Kokkang sebagai sebuah realitas komunitas yang di dalamnya terdiri atas individu-individu yang perlu berkembang dan mandiri. Artinya, individu-individu itu memerlukan semacam “jaminan” bahwa dengan pilihannya itu (menjadi kartunis) mereka dapat meniti karier di kemudian hari. Kokkang memang tak pernah memberikan jaminan apa-apa kepada para anggotanya, karena Kokkang selama ini bertindak dan bergerak layaknya “de schooling society” bagi para anggotanya. Mereka bebas menentukan sikap sejauh mereka telah merasa mampu dan memiliki “sayap” untuk berkiprah lebih jauh di institusi luar Kokkang. Dari aspek ini, tidaklah mengecewakan. Sejumlah kartunis/karikaturis media ibukota, bahkan, merupakan figur-figur “lulusan” Kokkang. Sebutlah nama-nama, misalnya: M. Najib (freelancer untuk majalah Kicau Bintaro, Muba Randik, harian Seputar Indonesia dll.), M. Nasir (Tabloid Bola), Wawan Bastian (Tabloid Aura), Ifoed (Communicartoon Studio), Hertanto Soebijoto (Redaktur Harian Warta Kota), Qomar Sosa (Harian “Merdeka”), M. Tafin (Ilustrator di Harian Rakyat Merdeka), Tyud Tahyudin (Seputar Indonesia), Tyok (Harian Media Indonesia), Prie GS (Pemred Tabloid Cempaka Minggu Ini dan Motivator Pengambangan Diri), Djoko Soesilo (Harian Suara Merdeka), Wahyu Kokkang (grup Jawa Pos) dan masih banyak lagi lainnya.
Dari komonitas Kokkang yang ada di sanggar Kaliwungu, muncul nama-nama potensial seperti misalnya: M. Muslih (yang kini menjadi ketua teknis), Muchid R, Zaenal Abidin, M. Nazar, Wijanarko, Aziz, Qodri, Misri, Tevi dan banyak lagi lainnya yang tak dapat disebut satu persatu. Ini artinya, sebuah advantage, hadiah atau pengharapan di masa depan menjadi sesuatu yang penting bagi komunitas Kokkang. Mereka tak mungkin dibiarkan jalan di tempat dan tak jelas kelanjutannya. Lestarinya Kokkang, masuknya anggota baru dari kalangan muda yang jumlahnya mencapai puluhan, itu juga dipicu oleh advantage dan pengharapan tadi. Jadi melihat Kokkang sebagai sebuah fakta dan kasus yang ada di Kaliwungu saja, sangat tidak berimbang dan menafikan pemikiran-pemikiran yang melatarbelakangi strategi pengembangan kelompok tersebut. Dan itu bisa dilakukan dari mana saja, di luar Kaliwungu, sekalipun.
Dari diskusi-diskusi tidak resmi, didapat visi-misi anggota Kokkang yang selama ini masih dipendam dalam hati. Mereka mendambakan agar di masa depan (entah kapan) Kokkang dapat memiliki kantor sekretariat sendiri. Tidak terus-menerus menumpang orang lain. Sekretariat itu hendaknya memiliki ruang-ruang yang punya fungsi: administratif, dokumentatif, aktivitas kreatif, ajang pamer karya secara rutin dan ruang untuk kegiatan diskusi atau sejenisnya. Harapan di masa depan ini memang belum dapat diproyeksikan bingkai waktunya. Mereka menyadari, sebagai organisasi budaya, hingga kini memang total bergerak dari iuran sebagian honorarium kartun mereka yang dimuat di media cetak. Jadi secara bergurau mereka boleh nyeletuk, bahwa hingga detik ini mereka dari segi finance termasuk organisasi yang masih bersih dari kooptasi politik, LSM atau fund mana pun. Independen dan bersih itu, mengandung konsekuensi “kemiskinan” yang juga bersih. Artinya, meja kursi, milik organisasi pun mereka tak punya. Itulah Kokkang.
Bila menengok sejarahnya, organisasi sejenis Kokkang sebenarnya cukup banyak. Pada awal 80-an juga, muncul nama-nama seperti Pakyo (Paguyuban Kartunis Yogyakarta), Secac (Semarang Cartoon Club), Karung (Kartunis Bandung), Pokal (Padepokan Kartunis Tegal), Kelakar (Kelompok Kartunis Purwokerto), Ikan Asin (Ikatan Kartunis Banjarmasin), Terkatung (Terminal Kartunis Ungaran) dan lain-lainnya. Namun dalam rentang waktu yang dua dekade ini, tampak sebagian di antaranya yang masih bisa bergerak, sebagian yang lain masih merangkak, sebagian lagi yang tak jelas jejaknya. Itu semua sah-sah saja. Apakah paguyuban-paguyuban semacam itu hanya akan difungsikan sebagai mode pada periode waktu tertentu, atau disikapi dengan serius dan untuk jembatan aktualisasi diri, semua terpulang pada masing-masing kelompok dan individu. Tak terkecuali organisasi yang konon bertaraf nasional semacam Pakarti (Persatuan Kartunis Indonesia) pun, kini seperti menyelinap, menyembunyikan muka di sela hingar-bingar pekik eforia reformasi yang tak jelas ujungnya. Tak terlihat kontribusi Pakarti pada persoalan-persoalan mendasar negeri ini, misalnya masalah kebudayaan atau kesenian sekalipun; padahal bila dicermati negeri ini sudah berkembang menjadi sangat lucu; bukankah itu “makanan” empuk bagi komunitas karikaturis? Kelompok humoris? Apa yang terjadi sebenarnya dengan Pakarti?
Kokkang 26 tahun, mungkin masih ada sedikit harapan. Kendati organisasi, kelompok atau paguyuban apa pun tak lebih dari kurungan yang bila salah disikapi bisa membekukan penghuninya, namun tradisi berkesenian yang masih menjadi perekat bagi kelestarian semangat para anggota, hendaknya tetap terjaga sebagaimana awal mula kelompok tersebut didirikan. Pertanyaannya kemudian, bila lahan tempat eskpresi para kartunis, termasuk Kokkang makin sempit, lalu apa yang dilakukan mereka? Mungkinkah berkarya kartun, yang notabene adalah karya garfis tanpa harus tergantung pada media cetak? Pertanyaan ini memang pernah mengemuka dan mendatangkan sejumlah gagasan solusi; seperti misalnya melompat ke film animasi kartun, melukis dengan acuan bentuk dan isi yang serba kartunal/karikatural, mendesain kaos dengan total serba bergaya kartun, membuat ilustrasi bergaya kartun untuk buku; namun solusi ini tidak selalu mudah diaplikasikan karena peran pihak lain, pemodal, misalnya. Dan kini sedang dijajagi dengan adanya tawaran dan prospek yang ditiupkan oleh Museum Kartun Indonesia Bali. Mungkinkah tawaran dan prospek itu akan mampu menjawab sebagian dari cita-cita Kokkang? Waktu yang akan menjawabnya.
Sedangkan mengartun untuk konsumsi media massa, para kartunis sendiri sudah dengan sendirinya mampu dan tak menjumpai banyak kesulitan teknis. Modal alat yang dibutuhkan paling banter hanya tinta, water color, kertas, perangko untuk pengiriman dan sekadar buku-buku/koran/majalah untuk referensi. Tetapi, alam tampaknya selalu terkembang menjadi guru. Kendati secara faktual, media cetak di Indonesia selalu merupakan lahan subur bagi para kartunis, tak terhindarkan, pikiran mereka akhirnya mulai menengok ke beberapa lembaga penyelenggara lomba kartun internasional. Para penyelenggara itu ada di Jepang, Korea Selatan, Belgia, Turki, Italia dan lain-lain. Jumlahnya cukup banyak. Rutin tiap tahun dengan tema yang berbeda-beda. Hadiahnya pun tidak main-main. Ada yang berupa medali (emas), sepeda, namun tak kurang pula penyelenggara yang memberikan hadiah hingga 50 jutaan rupiah ke atas untuk kategori pemenang bergengsi. Dari 30 hingga 45 kartunis Kokkang potensial, paling tidak 30% di antaranya sudah pernah dan bahkan rutin menjadi pemenang lomba tingkat manca negara tersebut, kendati bukan kategori yang bergengsi.
Respon dan kritik tentang Kokkang datang silih berganti. Salah satu kritik yang paling mendapat perhatian adalah soal tema dan isi kartun yang digarap dengan teknis itu-itu saja dan ini banyak terlihat, termuat di berbagai media Indonesia. Ketika hal ini didiskusikan, terungkap bahwa hal itu terjadi lantaran, media cetak di Indonesia memang menghendaki corak kartun dengan teknis penggarapan sederhana dan ide-ide yang sederhana pula; artinya, mudah dimengeri pemirsa. Untuk karya-karya karikatur dan kartun bagi konsumsi advertising, misalnya, tentu saja memerlukan pendekatan dan penggarapan yang sangat berbeda, demikian konfirmasi anak-anak Kokkang. Di luar jawaban yang bernada apologis tersebut, sebagian anggota Kokkang yang lain juga menerima bahwa kritik itu tetap akan dijadikan cambuk dan masukan bagi semangat berkarya mereka. “Sebagian besar dari kami, belajar mengartun langsung dari teknik deformatif dan plethat-plethot semacam itu. Hampir jarang yang belajar dari teknik menggambar yang baku; misalnya dari pemahaman anatomi, proporsi, persepektif dan lain-lain. Wajar saja kan, bila pilihan ini mengandung konsekuensi…” ujar salah seorang anggota Kokkang.
Ya, 26 tahun lebih sekian bulan usia Kokkang. Seharusnya sudah punya tempat dan sekretariat, hasil dari kerja keras dan cucuran keringat!

Darminto M. Sudarmo, salah seorang pendiri Kokkang dan tulisan ini merupakan pendapat pribadi atau selaku pengamat humor Indonesia.

Wednesday, December 03, 2008

KOKKANG 26 Tahun, Tetap Mengartun Walaupun Obama Menang

APA relevansinya kegiatan mengartun anak-anak Kokkang dengan kemenangan Barack H. Obama? Sangat relevan! Obama menggambarkan kegigihan kandidat presiden Amerika yang sejak sekian tahun berjuang keras, praktis dari kondisi nol kilometer hingga mencapai sebuah kondisi yang sangat layak untuk memasuki kompetisi pada tingkat babak final dan akhirnya keluar sebagai pemenang. Sebagai Presiden Amerika Serikat yang paling gress.
Lha, kelompok Kokkang? Walaupun ikut gembira menyaksikan kemenangan dan keberhasilan Obama, kelompok ini tidak mau ikut-ikutan larut dalam eforia berkepanjangan lalu lupa mengutamakan tugas utamanya: mengartun! Ya, menggambar kartun. Forever!
Karena pilihan dan fitrahnya memang sebagai kartunis. Meskipun di Irak masih banyak gejolak, di Afganistan ada ontran-ontran, di Pakistan banyak ledakan, itu semua tidak akan membuat semangat anak-anak Kokkang surut lalu jadi bingung dan tidak dapat melakukan apa-apa, tidak. Anak-anak atau para anggota Kokkang tetap tidak akan pernah lupa dari panggilan jiwanya: menggambar kartun!

Talkshow dan Bursa Kartun Kokkang
Dari tadi bicara soal Kokkang melulu, apa sih sebenarnya “makhluk” yang bernama Kokkang itu? Kokkang (Kelompok Kartunis Kaliwungu) yang didirikan sekitar tahun 1982 (sebenarnya didirikan tahun 1981, tetapi masih dalam tahap kasak-kusuk antara Odios dan Itos; deklarasi ditandai dengan pameran kartun berdua di pendapa Kawedanan Kaliwungu, tahun 1982), kali ini tidak hanya memamerkan karya-karya mereka berupa kartun, tetapi juga dalam bentuk yang lebih bervariasi. M. Syaifudin atau yang lebih dikenal sebagai Ifoed, salah seorang anggota KOKKANG, selepas bekerja dari Majalah HumOr lalu membentuk sebuah unit usaha yang berbasiskan kartun. Usahanya yang bernaung di bawah Communicartoon Studio kini bahkan tidak hanya berkiprah di bidang desain (periklanan/percetakan), ilustrasi buku dan benda-benda merchandise lain, tetapi juga telah merambah ke pembuatan film kartun animasi.
Sebelum Ifoed ada nama-nama seperti Didik Trisnadi yang bergerak di bidang perfilman; khususnya membuat film dokumenter dan iklan. Ada Joko Susilo yang membuat desain dan mencetak T-shirt. Dan saat ini, salah seorang yang paling bersemangat dalam pembuatan desain dan cetak T-shirt adalah Wijanarko.
Salah seorang yang sering menjadi pemenang lomba kartun yang sekaligus juga ilustrator banyak buku adalah Muchid Rahmat. Jadi tidak mustahil bila anggota generasi baru (1990-an hingga 2008) terdapat nama-nama yang karyanya tergolong kuat dan eksis seperti M. Najib, M. Nasir, Wawan Bastian, Muslih, Zaenal, Nazarudin, Asbahar, Tyud, M. Qomarudin, Wahyu Kokkang, Aziz dan banyak lagi lainnya, sangat punya andil besar dalam penciptaan atmosfir dan inspirasi bagi generasi sesudahnya.
Kelompok ini tidak hanya melahirkan kartunis kuat, tetapi juga ada yang jurnalis maupun birokrat. Seperti Odios, pernah menjadi Pemimpin Redaksi Majalah HumOr; Hertanto Soebijoto, redaktur harian Warta Kota, Nurochim, bekerja di Majalah MOP, dan Prie GS sebagai Pemimpin Redaksi Tabloid Cempaka plus seorang motivator berspirit religiusitas. Sementara Itos, sebagai birokrat (terakhir Kepala Seksi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata) Kab. Kendal; dan Totok Haryanto sebagai aparat desa serta aktif di komunitas semacam LSM Pemerintah. Uniknya lagi, ada juga dari anggota kelompok ini yang kemudian menemukan kenyamanan setelah menyeberang sebagai pelukis; seperti Asep Leoka, Syaiful Ashari dan beberapa yang lainnya.
Pada kesempatan yang khusus tersebut, diadakanlah “Talkshow dan Bursa Kartun Kokkang”. Tentang talkshow atau acara bincang-bincang santai, akan ditampilkan komunitas kartunis Kaliwungu sebagai narasumber. Bersama mereka kita akan dibawa masuk ke dunia kartun Indonesia dan fenomena-fenomena yang ada di dalamnya.

Latar Belakang dan Silsilah Lahirnya KOKKANG



MENURUT Odios, sampai dengan tahun 1979, di Kaliwungu atau bahkan Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, hanya ada satu kartunis; yaitu dirinya. Sekian lama luntang-lantung mengartun sendirian, agak membuatnya sedikit bersalah; karena honor-honor yang masuk lewat kantor pos Kaliwungu hanya dia sendiri yang menikmati. Maka ketika pada tahun 1979-an, bulannya lupa, dia ketemu Itos di kampus IKIP Negeri Semarang dan terjadilah dialog yang intinya Itos pingin banget belajar dan bisa ngartun.
Liburan kuliah, Odios yang ada pekerjaan membuat desain motif batik “Joeni Batik” di Bogor menawari Itos ikut; karena di sana ada banyak waktu luang yang bisa digunakan untuk berlatih menggambar kartun. Itos setuju. Sekitar 10 hari, Itos langsung berubah menjadi manusia baru! Dia langsung menjadi kartunis yang cerdas. Cerdas artinya langsung menemukan corak atau style tokoh yang mewakili dirinya dan ide-ide yang dibuatnya pun tergolong unik dan baru. Tidak tanggung-tanggung, dalam masa latihan di Bogor itu dia langsung dapat menciptakan kartun yang siap dikirim ke media sekitar 75 gambar.
Itu bagian yang sangat penting dari organisasi budaya yang bernama KOKKANG. Karena meskipun sempat beberapa lama mengalami pasang surut dalam berkarya, toh akhirnya wesel honorariun dari media Jakarta datang bertubi-tubi dan membuat Itos nyaris tak percaya, kalau dari corat-coret di kertas seperti itu dihargai cukup layak oleh media.
Maka setelah KOKKANG didirikan (1982) dan kedua kartunis ini mengadakan pameran kartun bersama di Pendapa Kawedanan Kaliwungu, sambutan masyarakat pun sungguh di luar dugaan. Anggota-anggota baru masuk berebutan. Hingga datang tahun 1988, saat yang tak dapat ditolah oleh Odios karena dia harus bekerja sebagai wartawan di Jakarta. Urusan mengenai kelompok ini akhirnya diserahkan total kepada Itos. Dan di bawah pimpinan Itos yang kadang streng tetapi sesungguhnya baik, ada suasana pasang surut; tetapi akhirnya sejarah mencatat, bahwa KOKKANG toh pada akhirnya dapat survive hingga 26 tahun lebih.
Sungguh ini sebuah anugerah yang luar biasa. Kelompok ini tidak pernah puas sampai di sini; mereka tetap punya cita-cita; baik itu menyangkut visi individu maupun kelompok; cita-citanya adalah dapat hidup layak dari keahliannya. Itu mungkin terasa naif, tapi entah bercanda atau sungguh-sungguh, salah seorang dari mereka ada yang nyeletuk pingin jadi bupati. “Aneh, kan kalau ada bupati dari kartunis?” ujar si pemilik keinginan tersebut.

Kartun Berhenti di Kaliwungu


(SEORANG wartawan budaya, Budi Setiyono, yang tergolong cukup intens dan mendalam mengkaji fenomena yang terjadi di komunitas Kokkang, pernah menulis tentang kelompok tersebut di Majalah Pantau dan situsnya pada kisaran bulan Mei tahun 2001. Ia memberi judul laporannya “Kartun Berhenti di Kaliwungu”. Sebuah judul yang membuat kaget para kartunis Kaliwungu sendiri. Kesan yang muncul seolah-olah di komunitas kartunis lain tak kebagian; karena sudah berhenti di Kaliwungu. Tetapi bagaimanapun itu adalah hak dia setelah menyelami sendiri dan sejenak merasakan hanyut dalam pusaran kreativitas yang ada di kelompok tersebut.
Beberapa catatannya yang masih relevan dapat kita cermati dalam kesempatan ini. Antara lain ia melaporkan).
Saya bergegas masuk ke sisi ruang yang digunakan sebagai pusat aktivitas kartunis Kokkang. Di dalamnya ada dua lemari besar berisi buku, katalog-katalog dan penghargaan-penghargaan kartun berjejer rapi. Ada lemari arsip kecil, dan lemari sedang yang digunakan untuk menaruh komputer. Pesawat telepon, buku telepon, buku honor masuk dan kas Kokkang, serta kertas dan koran yang tertata rapi menghiasi meja bercat coklat. Beberapa lukisan tergantung di dinding.
Saya duduk di kursi sofa. Satu-dua air hujan menerobos masuk, dan jatuh menimpa sebuah baskom plastik yang sengaja diletakkan di dekat meja. Saya melongok ke atas. Ada sebuah ruangan berukuran 2,5 x 2,5 meter yang terbuat dari bambu dan beratap seng. Tapi tak ada tangga menuju ke atas --ternyata ruangan itu tak lagi dipakai sebagai sanggar karena lapuk.
Saya masih menunggu pemilik rumah, sambil berpikir seolah tak percaya bahwa dari rumah sederhana ini lahir banyak kartunis yang mewarnai dunia.
Tak lama, deru sepeda motor terdengar lirih. Pengendaranya turun, bergegas masuk rumah, dan menuju ruang sekretariat. "Maaf berantakan. Saya sedang merehab total rumah ini," kata Budi Santoso, yang akrab dipanggil Itos, pemilik rumah, sambil menyalami.
Ia kemudian masuk kembali, dan tak lama kemudian keluar dengan kaos hitam lengan panjang dan sarung kotak-kotak. Laki-laki inilah yang bersama Darminto Masiyo Sudarmo, atau biasa dipanggil Odios, serta Nurrochim, yang mendirikan Kokkang pada awal 1980-an.”
(Pada bagian lain Buset {Budi Setiyono} menggambarkan laporan penelusuran data dan pandangan matanya).
Siapa bisa menebak nasib. Begitu juga Itos tak menyangka pertemuannya dengan Odios bakal mengubah garis hidupnya. Saat itu, tahun 1979, Itos mendaftarkan diri sebagai mahasiswa Pendidikan Seni Rupa, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Semarang. Ia berkenalan dengan Odios, yang juga mendaftar di jurusan yang sama. Keduanya berkenalan, dan surprise karena ternyata berasal dari daerah yang sama pula: Kaliwungu. Hanya beda kampung. Itos berasal dari desa Krajankulon, sedangkan Odios dari desa Plantaran.
Pembicaraan pun berlangsung. Saat itu, Odios mengenggam koran mingguan Bahari.
"Apa istimewanya koran itu?" tanya Itos.
"Karena ada kartun saya, Wak Kamal, yang dimuat secara tetap di sini," jawab Odios.
Odios mengenal kartun sejak kelas 2 sekolah menengah pertama. Saat itu ia sudah mengirim kartun ke majalah Stop, tapi ditolak redaksi. Baru ketika kelas 1 sekolah menengah atas kartunnya dimuat majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat. Sedangkan Itos dikenal sebagai dalang cilik.
Itos belum tahu kartun. Karena itu ia menanyakan ini-itu, dan Odios menjelaskannya. Itos mengaku tertarik dan ingin tahu lebih jauh tentang kartun. Odios pun mengundang Itos mampir ke rumahnya. Di rumah, Odios menunjukkan berbagai jenis kartun. Itos makin tertarik, bahkan ingin belajar.”
(Singkat cerita, kisah Buset tak beda dengan penuturan yang telah disinggung pada bab latar belakang berdirinya Kokkang. Nah, bagaimana sejarah berdirinya Kokkang, Buset menggambarkannya demikian).
Tahun 1982, Paguyuban Kartunis Yogyakarta (Pakyo) mengadakan pameran kartun nasional.
“Pameran yang tak dapat mereka ikuti itu membuat mereka iri. "Kami cuma menyantap beritanya dari media massa," kata Odios.
Suatu saat, ketika keduanya hendak ke kantor pos Kaliwungu, tiba-tiba terbersit gagasan untuk membuat perkumpulan sejenis Pakyo. Nurrochim kemudian diajak. Dan lahirlah Komplotan Kartunis Kaliwungu --yang kemudian diganti Kelompok Kartunis Kaliwungu-- 10 April 1982. Markasnya ditetapkan di rumah Itos, yang suka berorganisasi dan senang rumahnya dijadikan markas, di Jalan Boja 106, Kaliwungu.
Menurut Itos, ada sejumlah alasan mengapa Kokkang didirikan. Pertama, awal tahun 1980-an media cetak memberi perhatian cukup besar terhadap sajian kartun. Kedua, ketrampilan mengartun lebih mudah diajarkan ketimbang menulis maupun melukis. Ketiga, honor kartun cukup menggiurkan dan prospeknya cukup menjanjikan. Dan keempat, lingkungan Kaliwungu khususnya warga desa Krajan Kulon yang masih kental dengan budaya kebersamaan, kegotongroyongan, sangat potensial untuk pembentukan paguyuban.
Sementara Odios memandangnya secara sederhana. "Motifnya ya senang-senang dan gagah-gagahan saja," ujar Odios. Kokkang menjadi kelompok kartunis yang pertama di Jawa Tengah.
Untuk menandai deklarasi, digelar pameran kartun di Pendopo Kawedanan Kaliwungu, yang dibuka oleh Jaya Suprana dan Dr. Soewondo PS Art dari Perhimpunan Pencinta Humor, Semarang. "Ibukota Jawa Tengah sebenarnya bukan Semarang, tapi Kaliwungu," kata Jaya Suprana.
Pameran karya Itos dan Odios itu juga merupakan upaya untuk memikat anak-anak muda. Tema-tema kartunnya sederhana (gag cartoon) dengan teknik yang sederhana pula. Itulah pameran kartun kali pertama di Kaliwungu. Dan pameran itu berhasil menarik perhatian para pemuda, yang sebagian besar anak muda putus sekolah. Bergabunglah mereka sebagai anggota Kokkang.
Ketertarikan mereka didukung maraknya media cetak yang memungkinkan keterlibatan kartunis. Ruang untuk kartun melebar, dan itu menjadi tantangan yang perlu disikapi secara profesional. "Sekaligus menjawab tantangan kesulitan tenaga kerja," kata Itos.
Tiap Sabtu dan Minggu, mereka membahas isu-isu aktual sambil mempertajam keterampilan membuat kartun, terutama bagi anggota baru. Jika ada kesulitan mereka berkonsultasi dengan seniornya. "Pendek kata kami sediakan air; mau diminum, mau buat mandi, mau buat cuci muka, terserah, selama itu bermanfaat dan tidak buat mengguyur orang lewat," kata Odios.
Anggota Kokkang yang awalnya terbatas mereka yang bermukim di tiga desa: Krajan Kulon, Kutoharjo dan Sarirejo, kemudian melebar ke desa lain. Bahkan ke luar Kaliwungu. Bisa karena pengaruh keluarga maupun pergaulan.”
(Kokkang pun akhirnya beranak-pinak. Ibarat kelinci, anggota-anggota mudanya rame banget. Setelah melewati sekian waktu, maka Buset pun menggambarkan sebuah peristiwa yang bagi Kokkang dianggap sangat memorable, susah untuk dilupakan).
Oktober 1995, persis tengah malam, sebuah mobil kijang berhenti di pinggir jalan, di depan sekretariat Kokkang. Ada tamu penting yang datang khusus mengunjungi mereka. Seorang bermata sipit, berbadan tegap dan berkaca mata. Dia adalah Kosei Ono, pengamat kebudayaan dari Jepang (penulis dan pengamat humor-Red). Dia diantar antara lain oleh kartunis Priyanto Sunarto, Pramono R. Pramoedja yang juga ketua Persatuan Kartunis Indonesia (Pakarti), Yehana SR (Semarang Cartoon Club) dan Prie GS.
Menurut Pramoedja, kedatangan Ono didahului surat-menyurat lewat email antara dirinya dan Ono. Pramoedja mengatakan bahwa di Indonesia, tepatnya di Kaliwungu, terdapat sebuah kampung seperti di Omiwa, kota kecil di Tokyo, Jepang.
Omiwa adalah perkampungan kartunis, yang penduduknya mengartun karena profesi dan mengirimkan karyanya ke segala macam media. Bedanya, kebanyakan kartunis di Omiwa dewasa dan orangtua. Kartunis di Kaliwungu lebih beragam. Ono penasaran, dan datang ke Indonesia khusus untuk berkunjung ke Kaliwungu.
Markas Kokkang seketika ramai. Dialog pun berlangsung meski menggunakan bahasa Inggris. Ono terkesan, dan menuliskan kesan-kesannya pada sebuah buku berbahasa Jepang. "Kok bisa sebuah kampung dengan masyarakat yang sederhana memproduksi kartun yang disebar ke mana-mana. Dengan manajemen produksi yang juga unik," komentar Kosei Ono seperti ditirukan Priyanto Sunarto.
“Tadinya Kosei Ono mengira Kokkang sebagai sindikat. Karena di Jepang nama Kokkang terkenal. Dan setiap lomba kami mengirim dengan satu alamat, dengan banyak orang,” kata Itos.
Tampaknya masih ada penggalan catatan yang masih ingin disampaikan oleh Buset. Berikut tambahan catatan-catatan tersebut. Ini pun sebenarnya telah melompati sekian banyak masalah penting namun karena alasan halaman tak dapat di-review seluruhnya.
JUMAT, 16 Oktobet 1998. Kesibukan tampak di lobi Hotel Sahid Jaya, Jakarta. Beberapa karya kartun dipamerkan di lobi hotel, yang akan berlangsung hingga 18 Oktober. Kartun-kartun itu adalah karya para pemenang dan nominator Festival Kartun 1998.
Presiden B.J. Habibie batal membuka pameran. Ketua dewan juri GM Sudarta sibuk mencari tukang koran di depan hotel. Ia memperolehnya. Dua penjual koran kakak-beradik berusia belasan tahun digandeng GM Sudarta menuju lobi, kemudian duduk di kursi undangan. Beberapa saat kemudian, dua anak bersandal jepit itu memukul gong amat keras berkali-kali. Pameran telah dibuka. Para undangan termasuk beberapa diplomat tertawa.
Pemenang festival kartun bertema reformasi yang diselenggarakan oleh SIMA Communications ini bukanlah nama asing di dunia kartun. Juara I direbut oleh Wawan Bastian (Jakarta); juara II H.O. Dipayana (Jakarta); juara III Muhammad Najib (Jakarta); juara IV masing-masing Dendy Hery Hardono (Bandung), Jitet Koestana (Semarang), dan Muhammad Nasir (Jakarta). Mengalahkan 1.600 peserta.
Pemenang pertama, Wawan Bastian, sebelumnya tergabung dalam Kokkang. Dia pernah mengisi kartun-kartun di majalah Humor, dan pernah memenangi berbagai lomba kartun serta pernah mendapat penghargaan dari Jepang dan Belgia. Bastian menjadi pemenang dalam festival ini dengan karya berjudul “Reformasi Terpecah”. Di situ digambarkan para demonstran dengan membawa huruf masing-masing "R-E-F-O-R-M-A-S-I" berjalan sendiri-sendiri ke berbagai arah. Ada dua nama kartunis lain yang berasal dari Kokkang, yakni Najib dan Jitet Koestana.
Menarik, komentar GM Sudharta dan Wahyu Sardono sebagai dewan juri mengenai karya-karya yang dipamerkan itu. Seperti dilaporkan Kompas, mereka berpendapat, persoalan para kartunis tetap persoalan klasik, yakni kurang kaya dan kurang kuatnya gagasan. Meski dari segi gambar beberapa di antaranya menunjukkan goresan yang kuat.
Beberapa karya kartunis Kokkang, terutama yang masih tinggal di Kaliwungu, dianggap slapstick. Itu juga diherankan Syahrinur Prinka dari majalah Tempo. Menurutnya, meski ada beberapa yang bagus, tapi secara hasil masih standar. “Standar itu lucu. Daya pikir untuk lucu masih ada pada gambarnya, tapi bukan apa yang di belakangnya. Selain gambar, mestinya ada yang dibelakangnya,” ujarnya.
Prinka juga melihat belum ada karya Kokkang yang menonjol. “Dalam artian, belum ada karya yang menonjol karena individualitasnya kuat,” imbuh redaktur senior majalah Tempo ini.
Gag cartoon lebih menonjol ketimbang editorial cartoon. "Mungkin belum, dan belum ada sarana yang bisa memberikan masukan. Pembuat kartun dapat masukan. Pramono, GM Sudharta punya sarana, dapat masukan. Sedangkan mereka (Kokkang) bikin apa yang teringat, kirim," ujar Prinka yang penasaran dan tertarik untuk berkunjung ke Kaliwungu.
Kartunis tetap Suara Merdeka, Prie GS, memandang sisi eksklusivitas editorial cartoon yang tak tersentuh mereka karena ketergantungan media pada kartunis tetap. Dan alasannya masuk akal, media butuh untuk menciptakan maskot, dan kedua butuh silaturahmi teknis; policy media.
Namun ia juga melihat anggota Kokkang, bahkan yang senior pun masih pada strategi yang sama, bacaan dan konvensi-konvensi yang sama, tak beranjak dari tahun 1990-an di era gag cartoon. Padahal tantangan makin baru, dan selera humor juga mulai berubah. “Anggota Kokkang yang ke Jakarta yang tertolong,” ujar Prie GS yang kini memimpin redaksi Cempaka Minggu Ini (Suara Merdeka Group) sambil menambahkan gag cartoon hampir selesai, dan ruang media juga mulai berkurang.
Menurut Pramono R Pramoedja, untuk membuat editorial cartoon, paling tidak kartunis harus berjiwa wartawan. Dan itu tidak dimiliki kartunis Kokkang. Mereka hanya menangkap situasi politik, ekonomi dan sebagainya dari koran. “Kokkang baru pada segi-segi yang humoris, lucu dan menggelitik. Belum yang sakartis, meski tragis,” ujar Pramoedja.
Pramoedja juga menolak ketergantungan pada media. Kartun editorial juga bisa dibuat untuk pameran, koleksi, atau buku.
Tak semua kartun Kokkang slapstick. Priyanto Sunarto tak setuju generalisasi. Meski kartun yang dibuat rata-rata kartun genre atau lelucon sehari-hari tapi tak selalu slapstick (banyolan fisik). "Kan yang bikin sekampung dengan umur, status, profesi dan gender yang berbeda-beda," katanya.
Editorial cartoon, sambung dia, juga berkembang di antara anggota Kokkang. Ia menceritakan pengalamannya membuat pameran Kartun untuk Demokrasi (KuD) selama dua kali. KuD-1 tentang pemilihan umum dan KuD-2 tentang wakil rakyat, diikuti banyak peserta dari Kaliwungu. "KuD-2 malah 40% peserta dari situ. Dan hasil mereka juga bagus-bagus."
Sunarto membandingkan dengan kartun editorial di Jepang yang tersisih dari komik atau manga dan kartun-strip humor. “Di Indonesia masih lumayan diperhatikan. Ada kolom khusus kartun politik di media. Di Jepang orang sudah jenuh kerja, maunya mencari hiburan yang antara lain dengan kartun," kata dosen Institut Teknik Bandung ini.
Odios juga melihat kurangnya iklim apresiasi dan penghargaan di Indonesia yang bisa menopang kartunis hidup layak. Peran media juga amat terbatas. "Nah, kalau tidak ada yang memberi kesempatan, apa harus slonang-slonong. Kan lucu. Media itu penting karena itu ladangnya. Benih kacang tak mungkin tumbuh di udara," ujar Odios berkelakar. Ia kini bekerja di studio kecil di rumahnya; menulis buku, melukis, menulis cerita lucu untuk televisi dan sesekali menulis kolom untuk surat kabar/majalah.
Ide kartun anggota Kokkang bervariasi, dari yang sederhana hingga rumit yang membutuhkan perenungan. Ide bisa muncul ketika melihat kartun-kartun di media maupun katalog-katalog, yang kemudian dikembangkan dalam tampilan yang baru. Acap kali ide juga muncul ketika kartunis sedang dalam proses berkarya. Dari satu ide, muncul ide lanjutannya. Umumnya, tema-temanya berkutat seputar kehidupan sehari-hari. “Kartun itu humor yang universal, apa saja bisa diangkat menjadi kartun,” kata Itos.
Cara lainnya lewat perenungan ketika kekeringan ide atau mencari ide untuk mengikuti lomba yang cenderung tematis. “Meski tematik, katalog atau lomba di luar negeri juga kebanyakan gag cartoon, bukan kartun cerewet,” kata Abidin yang sudah memenangi lima penghargaan internasional.
Kartunis muda Kokkang menyebut editorial cartoon sebagai kartun cerewet yang harus dijelaskan dengan kata atau kalimat.
Pada 23 April 2000, dua anggota Kokkang membuat acara syukuran. Mereka menjamu teman-temannya dari Kokkang dengan hidangan nasi tumpeng dan jajan pasar. Sebuah acara yang rutin dilakukan kalau ada kartunis Kokkang yang mendapat hadiah uang cukup besar.
Keduanya adalah Zaenal Abidin dan Mohammad Muslikh yang baru saja memenangi The Yomiuri Shimbun International Cartoon Contest Tokyo Japan yang diselenggarakan koran Yomiuri Shimbun. Abidin meraih hadiah "Special Prize Selection Committee" dengan karyanya Pintu, dan berhak meraih hadiah: 200.000 yen atau sekitar Rp 13,4 juta. Sedangkan Muslikh memeroleh hadiah "Excellent Prize". Ia mengantongi uang 100.000 yen atau sekitar Rp 6,7 juta.
Kokkang selalu langganan menang di lomba kartun, baik nasional maupun internasional. Menurut Itos, sekitar 15 anggota Kokkang rutin meraih penghargaan. Mereka selalu ikut pameran atau lomba di Jepang, Korea Selatan, Turki, Belanda dan Belgia. Karya yang mereka kirim sesuai tema dan ketentuan penyelenggara; kekerasan, hak-hak asasi manusia, pemilihan umum, banjir, kerusakan lingkungan, dan sebagainya. Para anggota paguyuban kartunis ini sudah ikut lomba di luar negeri sejak 1986. Dan hampir tiap tahun ada saja kartunis dari kampung ini berhasil menggondol juara.
Hingga kini, setidaknya 100 penghargaan internasional sudah teraih. Jumlah hadiahnya lumayan besar, dan dalam mata uang asing pula. "Dengan memenangi berbagai macam lomba kartun di luar negeri, kami ikut berperan sebagai duta dalam diplomasi kebudayaan," kata Itos yang kini bekerja sebagai penilik kebudayaan di Departemen Pendidikan Nasional Kabupaten Kendal. Itos pernah meraih hadiah tujuh kali di luar negeri: Jepang (4), Turki (2) dan Korea Selatan.
Setiap tahun selalu ada undangan lomba dari mancanegara. Selain Yomiuri Shimbun, juga ada The Manga Cartoon Exhibition Hokaido Japan, Sport Chosun International Cartoon Contest Seoul of Corea, Internationaal Cartoonfestival Knokke Heist (Belgia) atau International Nasreddin Hodja Cartoon Contest (Turki). Namun kini, mereka selektif untuk mengikuti lomba. Acuannya adalah berapa hadiah yang panitia lomba sediakan. “Jepang wajib, lainnya sunnah,” kata Abidin, yang masuk Kokkang tahun 1994.
Karya-karya mereka juga menghiasi katalog-katalog kartun dalam dan luar negeri.Dari kampung kecil di Jawa Tengah, Kokkang menjadi duta kesenian Indonesia di mancanegara. Nama Indonesia pun harum bak melati, tanpa mengeluarkan kocek. Sementara di Indonesia sendiri ruang mereka makin sempit. Setidaknya makin sedikit media yang menyediakan ruang kartun. “Kami sudah biasa dikemplang media. Pernah juga tak dibayar,” kata Itos yang pernah meraih Rotary Club Semarang atas pengabdian masyarakat terhadap kebudayaan, tahun 1997.
Artinya, masih panjang pencapaian yang mesti diraih. "Itu soal paradigma. Ketergantungannya terhadap media massa sangat besar," ujar Odios mencoba berotokritik.
Malam makin larut, dan hujan mulai kelelahan. Sambil memamerkan karya-karyanya yang berjumlah ribuan, Itos bersuara lantang tanpa kesan meratap. "Penghargaan terhadap kartunis di Indonesia amat kurang. Pemerintah hanya mendata dan tak pernah melakukan pembinaan. Ibarat mau merumput, saya tak dikasih sabit," katanya.
(Buset pun mengakhiri penuturannya). ***