(Periode 1999-2004, Suwung Kepengurusan)
Oleh
Darminto M Sudarmo *)
Pertanyaan sederhana yang muncul adalah, apa sebenarnya
Pakarti itu? Pakarti adalah Persatuan Kartunis Indonesia (Indonesia Cartoonist Association). Dapukan (set up) awalnya dimaksudkan sebagai organisasi profesi para kartunis Indonesia. Kalau para dokter punya organisasi profesi bernama
IDI (Ikatan Dokter Indonesia), insan perfilman punya
Parfi (Persatuan Artis Film Indonesia) dan para pelawak punya
Paski (Persatuan Seniman Komedi Indonesia), maka Pakarti adalah tempat bernaung dan berlindungnya para kartunis Indonesia dalam menjalankan profesinya.
Bernaung dan berlindung artinya, kalau ada kartunis tidak bener (melanggar kode etik dalam menjalankan profesinya sehingga merugikan orang lain dan membawa masalah dalam organisasi), maka Pakarti selaku organisasi wajib “membina” kartunis bersangkutan; kalau ada kartunis yang kena perkara ketika menjalankan profesinya; misal kena somasi atau tuntutan pihak lain yang salah paham atau tersinggung karenanya, maka Pakarti wajib memberikan advokasi, pembelaan hukum lewat pengacara atau pembela yang direkomendasikan.
Kalau Pakarti hanya berpikir bahwa yang disebut aktivitas itu adalah Lomba dan Pameran Kartun, itu tidak salah. Tetapi sebagai organisasi berkapasitas nasional, dua item kegiatan di atas itu terlalu remeh dan cukup dilakukan oleh Koordinator Bidang, yang dibawahi Pakarti. Sebagai organisasi profesi cakupannya sangat luas; menyangkut filosofi, ideologi, visi dan misi organisasi, kode etik, hingga kontribusi riilnya dalam masyarakat.
Pakarti secara nyata dideklarasikan pada 1989 di Ancol, Jakarta. Terpilih sebagai Ketua Umum
Pramono R. Pramoedjo untuk masa kepengurusan 1989-1994. Pada 1994, diadakan Munas (musyawarah nasional) di Yogyakarta untuk memilih Ketua Umum Pakarti periode 1994-1999; Pramono R. Pramoedjo terpilih lagi.
Tetapi entah karena situasi makro atau mikro Indonesia yang lagi kurang nyaman, tahun 1999 tak ada munas atau penegasan pertemuan mengenai status kepengurusan Pakarti periode 1999-2004. Sehingga secara de facto maupun de jure, pada periode “suwung” itu Pramono R. Pramoedjo yang terpaksa menjalankan aktivitas organisasi; itupun kalau ada aktivitas yang signifikan. Saya juga heran, selain Pramono sebenarnya ada Wakil Ketua Umum, ada Sekretaris Jenderal, ada Pengurus-pengurus Daerah, ada Ketua Bidang yang jumlahnya nyaris belasan; tetapi anehnya kok tidak ada satu pun “Pejabat” Pakarti yang mengingatkan pentingnya Munas pada tahun 1999 itu atau ngobrol ringan yang intinya adalah membahas kelangsungan setelah masa jabatan Pramono yang kedua habis (batas masa jabatan dalam AD-ART setiap individu adalah dua kali). Jadi kesimpulan saya; nyaris sebagian besar kartunis kita itu “kurang gaul” dalam organisasi; tak paham apa artinya AD-ART, tak mengerti aturan main organisasi khususnya mengenai kewajiban dan hak; karena fakta membuktikan, periode 1999-2004 yang masuk kategori “suwung” legitimasi dan legalitas. Tetapi, tetapi lagi nih, kalau Pakarti hanya mau bersemangat organisasi cemen, kecil-kecilan tingkat regional atau lokal dan segmented, ya tidak perlu saya capek-capek mikir dan nulis ini; tetapi karena sejak pendiriannya memang diset-up dan disepakati untuk menjadi organisasi kartunis Indonesia, saya hanya dapat berdoa dan berharap, semoga di masa mendatang dengan adanya personel-personel muda, Pakarti dapat menjadi sebuah organisasi kartunis yang memang diakui dan didukung oleh para kartunis Indonesia.
Perjalanan waktu kemudian juga mencatat, periode kepengurusan Pakarti tahun 2004-2009, saya tidak peduli bagaimana mekanisme pemilihannya, tersebutlah nama
Jango Pramertha sebagai Ketua Umum Pakarti yang deklarasinya diselenggarakan di Bali. Penuh optimistime dan harapan, itu yang terlihat dari wajah sumringah para kartunis yang hadir dan menyaksikan prosesi penobatan pengurus Pakarti periode tersebut. Apalagi Bali bagi sebagian besar kartunis Indonesia merupakan pintu gerbang internasional; sehingga layak bila dengan ditempatkannya Pakarti di Bali akan dapat membuka akses internasional; itu artinya, akses bagi para kartunis Indonesia untuk dapat menikmati kelanjutan dari pergaulan tersebut. Apakah itu dalam bentuk sosialisasi atau peluang-peluang lain yang pada dasarnya bakal meningkatkan harkat dan martabat kartunis Indonesia di kancah dunia.
Tetapi, lagi-lagi tetapi, bahwa berbuat memang tidak semudah kita berkhayal atau berimajinasi. Harapan dan angan-angan dapat saja setinggi langit, tetapi fakta adalah fakta; yang akan bicara apa adanya. Dan di luar arus organisasi Pakarti, ternyata kita dapat melihat bahwa kartunis Indonesia toh tetap saja melakukan rutinitas “takdir” yang melingkupi dirinya; yaitu, berkarya, mengirim karya itu ke media atau ke penyelenggara lomba, atau membuat ilustrasi untuk proyek-proyek buku; mungkin sebagian lain ada yang sibuk di animasi, dan lain-lain. Kata kartunis yang dimaksudkan di sini adalah kartunis yang tidak organik dengan suatu institusi penerbitan atau bisnis lain. Mereka yang orang menyebut free-lancer; yang bisa makan kalau ada kerjaan; yang tidak tahu bisa makan atau tidak kalau tidak ada karya yang dimuat, tidak ada honor yang datang, tidak ada karya yang menang di lomba dan lain-lain.
Sementara itu para kartunis yang masuk kategori “papan langit”, seperti
GM Sudarta, Pramono, Dwi Koendoro, Priyanto S dan lain-lain praktis sedang disibukkan oleh rutinitasnya dan sekian agenda yang bertumpuk-tumpuk. GM Sudarta kini sibuk mengajar di sebuah universitas di Jepang. Pramono dan Priyanto sibuk mengintensivikasi Museum Kartun Indonesia Bali; Dwi Koendoro selain usreg dengan Panji Koming-nya juga ada beberapa agenda yang terkait tidak selalu sama kartun, tetapi itu sangat menyita waktunya sehingga praktis mustahil ada kartunis muda yang bisa sambat: “Mas, sudah lima hari ini, saya gak dapat honor sehingga tak bisa kasih belanja buat anak istri....”
Tidak relevan. Organisasi kayak Pakarti tak ada kaitannya dengan urusan rumah tangga dan kesejahteraan kartunis. Benarkah?
Menjadi kartunis, sebuah pilihan profesi, sebenarnya sama saja dengan menjadi yang lain: makelar, tukang becak, sopir, pemborong, wartawan, dalang wayang kulit, pelukis, pengamen, kondektur, pegawai negeri, buruh pabrik, manajer perusahaan, direktur, dokter, bintang film atau apapun! Setiap pilihan selalu ada sisi plus dan sisi minusnya. Karena itu hukum alam atau hukum keseimbangan. Bahasa kerennya, kasualitas obyektif.
Di Kokkang (Kelompok Kartunis Kaliwungu) dapat anda observasi apa yang dirasakan tiap-tiap anggotanya. Senang atau tidak senangkah mereka menjadi kartunis? Sebagian ada yang nyambi jadi pegawai bank, guru, buruh pabrik atau pekerja serabutan; tetapi sebagian yang lain, benar-benar hidup dari mengartun atau menggambar kartun.
Persoalan serupa dapat pula anda tanyakan kepada kartunis
Jitet Koestana (yang nyaris menjadi langganan sebagai pemenang di berbagai lomba internasional dengan hadiah ribuan dollar/puluhan juta rupiah) padahal sebagai kartunis Kompas, semestinya ia sudah dapat hidup nyaman; tetapi mengapa rutinitasnya dalam berkarya untuk diikutkan di lomba kartun luar negeri seperti tak pernah bisa berhenti? Juga kepada
Thomdean, kepada
Didie SW.
Menjadi kartunis pada akhirnya memang tak beda menjadi yang lain. Harus masuk ke dalam rimba kompetisi yang luar biasa keras dan tak terduga. Masing-masing tidak dapat menunggu tips dan trik yang diberikan oleh Pakarti; mereka harus mencari sendiri bagaimana kiat hidup sebagai kartunis supaya tetap survive dan eksis. Untuk kasus ini dapat ditanyakan ke
Benny dan
Mice yang kini total bersandar hidup dan beraktualisasi diri lewat kartun.
Dari Salatiga, Jawa Tengah, 23 Mei 2009 sekitar pukul 14.00 WIB, tersiar berita telah terpilihnya kepengurusan Pakarti untuk periode 2009-2014, yaitu
Is Ariyanto dan
Mullie sebagai Ketua Umum dan Wakil Ketua Umum Pakarti; bagaimana mekanisme pemilihannya memang tidak relevan untuk diperdebatkan karena situasinya benar-benar darurat; tetapi, Pakarti di bawah anak-anak muda yang tentu saja penuh dengan energi dan kesegaran tersebut, diharapkan mereka dapat menata kembali konstruksi organisasi baik dalam arti fisik/teknis maupun filosofis- ideologis.
Tanpa Pakarti, kartunis Indonesia memang dapat tumbuh dan berkembang, tetapi dengan adanya Pakarti, seyogianya kartunis Indonesia makin tumbuh dan berkembang; baik secara personal maupun kolektif, baik kuantitas maupun kualitasnya; baik keilmuan maupun kepemilikannya. Dengan kepemilikan yang memadai diharapkan kartunis Indonesia kelak juga dapat memberikan kontribusi riil (sembako atau uang tunai) bagi saudara-saudara lainnya yang masih kekurangan. Ya, kan? Apa artinya honor dan hadiah lomba gede kalau hanya dinikmati sendiri?
Bukit Kencana Jaya, Semarang, 25 Mei 2009
*) Demi penyebaran informasi analisis tersebut, tulisan ini dimuat di blog “
Kartun Indonesia”, di “
Kokkang” dan di note “
FaceBook”; mohon pembaca maklum.
0 comments:
Post a Comment
Tuliskan komentar atau pendapat Anda di kolom ini kemudian klik Preview atau langsung Publish!