Thursday, January 01, 2009

Temu Kartunis Nasional Pertama dan Terakhir


  • Kilas Balik Mengintip Dapur Redaktur Kartun Media Massa

  • Landasan Etika dan Estetika bagi Kartunis Indonesia


    Oleh Darminto M Sudarmo

    Peristiwa Temu Kartunis Nasional ini sebenarnya sudah berlangsung 23 tahun yang lalu. Namun mengingat semangatnya masih relevan hingga sekarang, tulisan yang bersifat kilas balik ini disajikan. Alasannya, waktu itu anggota Kokkang masih beberapa orang saja. Maklum Kokkang baru jalan tiga atau empat tahunan. Betapapun, kita perlu bersyukur, acara yang membuahkan pedoman profesional bagi para kartunis Indonesia itu sempat berlangsung; karena hingga kini pun peristiwa yang penting dan berorientasi peningkatan mutu kartunis Indonesia itu tak pernah ada yang menyelenggarakan lanjutannya.
    Ide untuk mengumpulkan para kartunis seluruh Indonesia di suatu tempat untuk kemudian beromong-omong, bermula dari kasak-kusuk dan keisengan belaka. Tak terduga setelah timbul kesepakatan dari sementara kartunis yang ada di Semarang, gagasan yang sesungguhnya bakal banyak memakan dana dan energi itu terselenggara cukup mulus.
    Mungkin banyak yang tak tahu, bahwa upaya yang telah dicurahkan oleh penyelenggara dan proses perjalanan realisasinya penuh dengan jalan berliku dan terjal. Dari soal perizinan, dana dan sebagainya, total saling belit-membelit.
    Sehingga tak aneh bila rencana penyelenggaraan mengalami berkali-kali pengunduran. Diperkirakan banyak peserta yang putus asa, sehingga meskipun mereka secara resmi telah mendaftarkan diri, pada hari ‘H’-nya tak kelihatan batang hidungnya.
    Kendati demikian, secara keseluruhan, peristiwa yang sesungguhnya bukan cuma ‘hura-hura’ ini berlangsung dengan baik. Bahkan telah menelorkan serentetan rumusan sementara yang bisa dijadikan titik tolak bagi para peserta. Rumusan tersebut memang sengaja digumpal-gumpalkan sebagai penjabaran dari berbagai aspek yang selama ini dianggap masih samar posisinya.
    Persoalan etik dan estetika ramai dipergunjingkan. Bahkan topik yang dipesankan penyelenggara sempat berkembang ketika dilempar ke khalayak peserta karena kecerdikan para pembicaranya.
    Akhirnya terpanalah kita. Ternyata banyak hal yang harus dikaji oleh para kartunis, redaktur kartun dan para pengamat humor umumnya, jika mereka menghendaki kartun bisa hadir dan memperoleh penghargaan yang semestinya sebagaimana karya cipta seni yang lain.

    Latar belakang
    Mengapa temu kartunis nasional harus diadakan? Banyak alasannya. Pertama, bersumber dari keresahan sementara kartunis yang risau melihat perkembangannya dewasa ini cenderung naif dan kurang orientasi. Artinya, terdapat semacam citra yang konyol dari para pekerja kartun itu sendiri. Yakni bahwa mengartun ya cuma mencoret-coret gambar lucu (yang dianggap lucu) dengan tema-tema yang juga itu-itu saja.
    Padahal kartun, baik kemunculannya sebagai gag cartoon, editorial cartoon atau political cartoon (karikatur?), yang harus melucu sambil membawa gunjingan-gunjingan moment atau peristiwa yang aktual, topikal dan faktual, maupun yang berlucu-lucu dengan topik kemanusiaan yang universal, tetap harus memperhatikan sisi teknis (drawing), sisi informatif, edukatif dan sebagainya.
    Aspek-aspek ini bila digarap dengan jeli, bukan mustahil bila nantinya karya kartun bakal memperoleh penghargaan yang semestinya. Selain aspek idea, tentunya merupakan salah satu sisi yang mutlak harus tampil pada kartun yang berhasil. Sebagai bukti kerja kretif sang kartunisnya.
    Kedua, bila para pekerja kartun itu sendiri dijangkiti penyakit latah yang kurang menguntungkan posisi kartun, maka pelan tapi pasti masyarakat pun akan berkecenderungan menilai serupa. Lebih-lebih bila fakta secara kuantitatif memang menunjukkan hal itu.
    Maka jalan menghapus kesan tak sedap yang mungkin telah timbul atau bakal timbul dari para penikmat, adalah dengan mengadakan acara pertemuan seperti tersebut di atas. “Siapa lagi yang bakal memperjuangkan kalau bukan para kartunisnya sendiri?” ujar Arswendo Atmowiloto, sebagai salah seorang pembicara, yang kemudian disambut oleh peserta.
    Ketiga, kartun sebagai karya grafis memang paling kena bila dilempar ke penikmat lewat media massa (koran atau majalah). Karena sasaran yang hendak dituju memang pembaca seluas-luasnya.
    Di dalam setiap media massa yang memuat karya kartun, umumnya berdiam seorang atau lebih “hakim” yang disebut redaktur kartun atau humor. Sayangnya sang redaktur ini manusia. Meskipun telah berusaha semaksimal mungkin bertindak obyektif, sekali dua kali atau bahkan berkali-kali bisa saja bertindak sebaliknya.
    Tuduhan demikian memang meruncing di kalangan kartunis yang merasa karyanya tak pernah lolos atau sedikit sekali yang bisa lolos sensor redaksi. Lalu muncullah ‘umpatan-umpatan’ tak sedap yang dialamatkan kepada mereka (para penjaga gawang kartun). Yang bego-lah, yang koncoisme dan sebagainya. Ternyata indikasi demikian bukan hanya dialami redaktur yang menangani bidang-bidang yang lain. Jadi lumrah.
    Maka lumrahlah pula, bila banyak peserta yang akhirnya bertanya. Kartun yang baik itu yang bagaimana sih? Para panelis yang kebetulan berposisi sebagai redaktur akhirnya menjawab dengan berbagai versi menurut kepintaran yang dipunyainya. Meskipun tak menutup kemungkinan munculnya jawaban yang digagah-gagahkan.
    Kendati demikian, tiga orang pembicara, Pramono, GM Sudarta dan Harso Widodo yang setidaknya telah cukup lama bergelut dan berkumpul kebo dengan kartun sempat memberikan jawaban yang setidaknya bisa dijadikan pegangan para kartunis pula.
    Menurut Pramono, kartun yang baik adalah tipe kartun yang disenangi oleh pembaca dari berbagai latar belakang pendidikan, suku, status sosial, dan sebagainya. Misinya sampai, meskipun sekadar melucu.
    Hampir senada, GM Sudarta menjawab bahwa kartun yang baik adalah kartun yang lucu dan bagus.
    Pengertian bagus tentu saja ada norma-normanya. Sementara Harso Widodo (dahulu redaktur humor Tabloid Mutiara), memberikan jawaban kartun yang baik adalah kartun yang universal dan mampu menggelitik redaksi. Ini pun tidak harus disalahkan, karena subyektivitas (yang normatif) akan menghasilkan suatu media yang berciri khas masing-masing media yang diasuhnya. Dan itu juga perlu.
    Keempat, timbulnya gejala dan mode jiplak-menjiplak ide dari kartunis lain (atau mungkin memang kebetulan sama ide), tak kurang merupakan salah satu bagian etika yang perlu dipertanyakan. Sebab gaya tuduhan-tuduhan dari masing-masing kartunis yang merasa dirugikan sering hadir di meja redaksi atau surat pembaca. Siapa yang harus jadi penengah bila ada kasus demikian? Atau mungkin hakim?
    Arswendo Atmowiloto yang dapat bagian tugas membahas sekitar kartun dan hak cipta, mengatakan bahwa hak cipta tentang kartun tak terdapat dalam undang-undang hak cipta. Ini memang aneh, karena ilustrasi, gambar-gambar peta bumi dan sebagainya sudah masuk dan disebutkan secara jelas. Mungkin karena apresiasi para cerdik pandai ini belum sampai pada yang namanya kartun, karikatur, maupun yang sejenisnya.
    Kendati demikian, kartun termasuk karya cipta. Dengan sndirinya mempunyai hak cipta, sebagaimana tercantum dalam undang-undang Republik Indonesia nomor 6 (enam) tahun 1982. Sebab semangat dan isinya terkandung dalam cabang kesenian yang bisa dilipat gandakan, bisa dinikmati dan dilihat orang lain (pasal 1). Lebih khusus lagi, kartun termasuk dalam ‘segala bentuk seni rupa’ (pasal 11).
    Dengan demikian, sebenarnya kartun bisa diwariskan, dihibahkan, diwasiatkan, dan dijadikan milik negara (pasal 3). Akan tetapi pertanyaan yang lebih pokok dari itu ialah, apakah bentuk kooperasionalnya memungkinkan bagi para kartunis?
    Kelima dan seterusnya, adalah keresahan-keresahan sekitar kemungkinan-kemungkinan adanya alternatif lain yang bisa dijadikan semacam tumpuan untuk menyelamatkan karya kartun dari kepunahan. Karena yang tak lolos sensor redaksi, lebih banyak masuk keranjang sampah lalu lenyap, dimusnahkan.
    Dapat juga misalnya menerbitkan sebuah bentuk kumpulan sebagaimana yang telah pernah dilakukan oleh GM Sudarta dan Pramono.
    Juga persoalan memasarkan karya kartun, yang cenderung bergantung pada salah satu atau dua media massa, serta harus antre dan bersaing secara keras. Bekerja sama dengan para pengiklan, pembuat film, atau pun menjual pada badan semacam ‘syndicate’ yang mampu memasarkan kartun ke seluruh dunia.
    Sehingga tak aneh bila seorang kartunis bisa memperoleh honor dari berbagai media untuk sebuah karyanya, adalah alternatif-alternatif yang tak terlalu berlebih. Pada saatnya bila kondisi telah memungkinkan, hal semacam itu bukan merupakan hal yang mustahil.
    Memang pada jangka pendek ini, upaya pertama-tama yang bisa dilakukan adalah menghimbau sehormat-hormatnya pada para pemilik media massa agar mau sedikit berbaik hati membuka selayaknya rubrik tempat para kartunis Indonesia berkarya dan berkreasi.

    Kilas Balik
    Temu Kartunis Nasional I (dan terakhir?) yang berlangsung tahun 1985 lalu, yang telah menelan waktu selama dua hari dua malam itu boleh dikatakan cukup sukses. Diikuti tak kurang dari 125 peserta, dari berbagai penjuru nusantara. Menampilkan tak kurang dari tujuh orang pembicara baik dari kalangan pengamat, kartunis, maupun redaktur humor.
    Mereka antara lain: GM Sudarta (Kartunis Kompas), Pramono (Kartunis Sinar Harapan), Arswendo Atmowiloto (pengamat), Drs. Herry Wibowo (Dosen STSRI), dan panelis redaktur yang terdiri dari: Harso Widodo, Singgih Budiyono (Sarinah), dan Hanafi (Minggu Ini – Suara Merdeka).
    Acara berlangsung di Balai Wartawan Kompleks GOR Semarang, 20-21 September 1985 lalu. Sementara penyelenggara yang berdiri di belakang acara tersebut adalah ‘gerombolan’ kartunis yang terhimpun dalam Pertamor (Perhimpunan Pencinta Humor), Secac (Semarang Cartoon Club), Kokkang (Kelompok Kartunis Kaliwungu), Wak Semar (Wadah Kartunis Semarang), dan Pokal (Padepokan Kartunis Tegal).
    Setelah melewati serangkaian diskusi dan dialog yang gayeng dan khas (sebagaimana laiknya bila orang-orang edan, eh, suka humor berkumpul), maka team perumus Temu Kartunis Nasional ’85 telah sepakat menelurkan ancar-ancar yang dimaksudkan sebagai landasan ber-etik dan berestetika, serta titik tolak para kartunis guna menyongsong prespek-prospeknya di masa mendatang.
    1. Proses penikmatan/pemahaman akan sebuah karya kartun, membutuhkan kecerdasan seseorang penikmat, apalagi dalam proses penciptaan karya kartun. Untuk ini para kartunis perlu melakukan introspeksi, terutama yang menyangkut masalah penyusunan kode etik perkartunan, serta upaya peningkatan pemahaman akan aspek-aspek yang berkaitan dengan kartun.
    2. Peningkatan pemahaman akan aspek-aspek yang berkaitan dengan kartun, mencakup pemahaman akan kondisi sosial budaya, humor, persepsi kualifikasi dan aktualitas pokok-pokok permasalahan.
    3. Perlunya proses integralisasi pendayagunaan kartun dengan kepentingan media massa, di mana tercakup di dalamnya permasalahan-permasalahan dan pertimbangan-pertimbangan yang bersifat teknis, strategis, serta komoditif.
    4. Dari penyelenggaraan Temu Kartunis Nasional ’85, terasa ada kecenderungan kuat dari para kartunis untuk menghimbau berbagai media massa guna membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi kehidupan kartun. Meski selama ini oleh beberapa redaktur kartun dari berbagai media massa mengungkapkan prospek yang cerah dari kehidupan kartun.
    5. Perlunya komunikasi dan kondisi antar kartunis dengan berbagai upaya penerbitan buletin, brosur, majalah dan lain-lain. Barangkali perlu juga diciptakan suatu strategi pemasaran kartun bersama melalui wadah ‘syndicate’ dan lain-lain.
    6. Dari Temu Kartunis Nasional ’85 di Semarang yang pertama kali ini timbul inisiatif bersama dari para kartunis, untuk mentradisikan Temu Kartunis Nasional dan Pameran Kartun Nasional setiap setahun sekali dan diselenggarakan di berbagai kota di seluruh kawasan nusantara secara bergantian menurut mufakat bersama.
    Masalahnya yang perlu dipikirkan lebih lanjut adalah persoalan target. Sebab setahun sekali bukan waktu yang terlalu lama untuk menunggu munculnya isyu-isyu baru yang lebih segar dan berbobot. Kendati demikian, kita selalu berharap mudah-mudahan para kartunis bisa lebih membuktikan dengan karya-karya besarnya yang mampu membawa guna bagi masyarakat dan negara.
    Bulan September adalah saat jatuh hari ‘H’ Temu Kartunis Nasional kedua. Namun demikian kenyataan yang terjadi justru suasana yang sepi. Surabaya pernah menyanggupkan diri untuk jadi tuan rumah, tetapi merealisasi gagasan itu ternyata bukan persoalan yang gampang.
    Karena itu semoga bukanlah suatu hal yang berlebihan bila “Dialog Kartun di UNDIP” pada tahun 1994 yang menghadirkan pembicara Dwi Koendoro dan Jaya Suprana setidaknya mampu menjadi obat lain dari kegersangan realisasi dan inovasi Temu Kartunis yang pernah dicetuskan dengan gegap-gempita dan penuh semangat kemudaan, waktu itu. Semoga pula dapat menjadi referensi, khususnya bagi kartunis Kokkang maupun para peminat kartun di mana saja.

    Darminto M Sudarmo, penulis dan pengamat humor.

    Catatan:
    Harso Widodo dan Hanafi sudah almarhum, namun pikiran dan gagasan mereka tentang kartun, khususnya; tetap kita kenang sebagai mutiara yang sangat berharga bagi para kartunis Indonesia.

0 comments:

Post a Comment

Tuliskan komentar atau pendapat Anda di kolom ini kemudian klik Preview atau langsung Publish!