![]() |
Brosur Katalog Pameran Kokkang |
Setidaknya, pada akhir tahun 2012 ini, Kokkang (Kelompok Kartunis Kaliwungu)
telah berumur 31 tahun. Umur yang cukup bagi sebuah organisasi kesenian
(budaya) untuk memberikan kontribusi positif bagi lingkungan sekitar maupun
masyarakat pada umumnya. Seharusnya. Kenyataannya? Apa yang dirasakan para
anggota Kokkang sendiri justru sebaliknya.
Mereka masih merasakan kekurangan di banyak hal.
Mereka masih memendam sejumlah obsesi dan cita-cita yang belum terlaksana. Apa
yang mereka tampilkan dalam pameran yang bertajuk “Pameran Kartun Kuburan” di Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah (25-28
November 2012) adalah sebagian saja dari sejumlah kiprah yang telah diagendakan
dan sebagian lain masih membentang di depan mata dan belum tersentuh tindakan
nyata.
Berbeda dari banyak senior mereka yang kini telah
menetap di berbagai penerbitan di Ibukota, Semarang maupun Surabaya seperti: M
Nasir, Ifoed, M Najib, Wawan Bastian, Tiyok, Tyud, Qomar, Tavin, Hertanto
(wartawan), Djoko Susilo, dan Wahyu Kokkang; para kartunis Kokkang yang
bertempat tinggal di Kaliwung dan sekitarnya seperti: Muslih, Asbahar, Muchid,
Zaenal, Nashar, Hendratno, Azis, Yono, Abu Dzarin, Tosso, Wijanarko, Tevi
Hanafi dan banyak lagi lainnya harus tergantung dan menggantungkan nasib pada
media (koran, majalah, buku, dll) yang menyediakan diri untuk memuat karya
mereka.
Ketergantungan itu menjadi semakin nyata manakala
penyediaan ruang-ruang humor atau kartun di berbagai media makin menyusut
seiring dengan fakta bahwa media-media cetak manual juga sedang dalam situasi
yang sarat persoalan; baik kaitannya dengan daya beli masyarakat maupun
pesatnya tradisi media online yang pelan tapi pasti sedang merebut posisi itu.
Seharusnya, karya kreatif berupa kartun dan ilustrasi tetap dibutuhkan dan
punya tempat yang semestinya. Seharusnya! Kenyataannya dalam masa transisi
seperti sekarang, media-media online belum memperlihatkan keinginan ke arah
sana.
Oleh karena itu dari aspek yang paling praktis dan
mungkin “pragmatis” muncullah sejumlah wacana agar para kartunis Kokkang segera
berbenah diri menyikapi kecenderungan baru yang ada di depan mata mereka.
Akankah kecenderungan baru yang relatif menuntut perubahan pola pikir (mindset) itu efektif bagi sebagian besar
anggota Kokkang di Kaliwungu dan sekitarnya yang selama ini berkiprah secara “as it”, lugu, naif, sederhana dan apa
adanya?
Kokkang Perlu
Memperluas Teba dan Orientasi
Para pengamat acapkali melihat kiprah Kokkang dari kaca mata romantisme yang
sangat berlebih. Belasan tahun yang lalu, GM
Sudarta pernah menyinggung Kokkang di Majalah Prisma dan melihat keunikan
komunitas ini yang menebar di berbagai kampung dan bahkan ada pula dari satu keluarga
terkadang dijumpai dua atau tiga kartunis sekaligus. Belum lama, Jaya Suprana, penyebar wabah humor di
Semarang pada tahun 80-an, juga bertanya dengan nada khawatir kalau-kalau
eksotisme Kokkang sudah larut oleh kikisan waktu dan berakhir dengan kepunahan;
artinya, romantisme Kokkang yang unik itu, tak ada lagi. Sementara itu, tak
kurang dari sekian puluh media cetak
(koran/majalah) maupun TV yang telah mengekspose dan memprofilkan komunitas ini, termasuk apa dan siapa di balik
paguyuban yang hingga kini tetap survive itu dengan pendekatan yang sama, yakni: romantisme dan rasa penuh kegemasan.
Bagian itu tentu saja oke-oke
saja dipertahankan; tetapi bagian paling serius dari Kokkang, yaitu sebagai
alat aktualisasi diri dan profesi, juga tak boleh dianggap sebagai pelengkap
dari eksotisme belaka. Eforia kebebasan dan reformasi memang melahirkan banyak
sekali media cetak, khususnya; namun fakta yang terjadi, justru sangat sedikit,
bahkan berkurang dibanding di era yang lalu, khususnya media yang menyediakan
ruang untuk kartunis berkiprah dan mengambil peran.
Dalam situasi seperti ini, kartunis Kokkang, yang berada di posisi sebagai
kartunis lepas, hendaknya segera memperluas teba
dan orientasi. Mindset atau pola
pikir perlu segera diubah agar tradisi melihat peluang dan perubahan juga
berubah; setidaknya dalam menyikapi situasi-situasi yang makin tajam kompetisi.
Kecakapan teknis di luar mengartun, seperti memanfaatkan software pendukung juga perlu dikuasai
agar selain sebagai kartunis, anggota Kokkang juga memiliki kecakapan yang
berdaya saing; baik di bidang desain, ilustrasi, animasi maupun bidang-bidang
lain yang sehaluan. Ini akan sangat membantu dan terbukti efektif. Contoh untuk
ini jelas, anggota Kokkang yang ada di Jakarta sudah membuktikan itu. Sangat
dianjurkan melihat pilihan-pilihan itu selain yang sudah ada selama ini.
Akhirnya saya ucapkan selamat berpameran, semoga gagasan-gagasan yang
muncul dapat menjadi inspirasi dan gelitik spirit bagi para apresian. Tetap
lucu, tetap jernih, tetap cerdas dan tetap optimistik!
Darminto M Sudarmo, Salah Seorang
Pendiri Kokkang.
Metafor Ulat dalam Sindiran dan Canda
“Seni
adalah revolusi tanpa henti”.
Doorr!!! Kena...Sampeyan!! Yang dibidik pun tersipu-sipu, ketika tembakannya tepat mengenai “urat malunya” (maaf bukan kemaluan). Ini sensasi sensitivitas “rasa” kemanusiaan.
Doorr!!! Kena...Sampeyan!! Yang dibidik pun tersipu-sipu, ketika tembakannya tepat mengenai “urat malunya” (maaf bukan kemaluan). Ini sensasi sensitivitas “rasa” kemanusiaan.
Konon ini yang
dianalogikan dari kata
“kokkang”. Satu bentuk kata kerja
yang diartikan siap dikokang dan siap ditembakkan ke sasaran yang dimaksud,
meskipun secara formal
kata itu berasal dari singkatan
“komplotan kartunis kaliwungu” yang di kelak kemudian hari singkatan
tersebut bermetamorfosa menjadi “kelompok kartunis kaliwungu”
biar sedikit lebih mriyayeni
dan bercitarasa agak sopan bin sopiyan; kendati dalam konteks seni, nama komplotan lebih terasa
artistik dan agresif namun suratan takdir menghendaki hal yang umum-umum saja. No problem, bro.
Gambar kartun, karikatur atau kartun opini memang bisa menyengat
dan yang disengat bisa tidak perlu
tersinggung ataus mencak-mencak, apalagi sampai membanting
gelas; karena gambar kartun
disampaikan dalam
bahasa canda, humor atau lucu (laiknya anatomi
terdeformasi). Jadi
kritik yang disampaikan lewat media karikatur maupun kartun, masih memberikan peluang
orang untuk terpingkal-pingkal, atau setidaknya senyum dikulum atau justru
salah tingkah. Itu
justru menjadi pertanda baik; artinya masih terpelihara
“saraf” malu di diri kita semua.
Sebaliknya, bagaimana jika yang disasar kritik cuma “mbegegek” tidak mempan, tidak peka. Lebih parahnya lagi kalau yang kena bidik justru tidak merasa dikritik, malah merasa yakin kalau yang ia lakukan sudah benar sementara di sisi lain, masyarakat sangat gemas menyaksikan kebengalan para
“pendosa” yang berpenampilan inosense atau bahkan kadang justru sangat
relegius (matek ga, lo!).
Seperti metafor ulat, kritik bisa saja mendatangkan rasa “geli” dalam makna risih dan risau sampai-sampai yang mengalami jadi kerepotan dan
terganggu sehingga terpaksa membuka baju hingga telanjang (maksudnya
bukan porno he he) demi
menghindar dari gangguan ulat “sialan” itu.
Humor dalam perspekstif
intelektual diyakini bisa merangsang kecerdasan, kreativitas, daya kreasi, bahkan bisa menjadi obat
pikun dini; alias bikin kita awet muda.
Dalam beberapa kesempatan
berbincang dengan tokoh humor Indonesia yang sekaligus founding father Kokkang, Darminto M Sudarmo, (kini sedang menyiapkan buku humor
terbarunya -- HQ {Humor
Quotient} - Kecerdasan Humor) di antaranya berkomentar hahwa
kecerdasan humor
dan rasa humor seseorang sangat
terkait dengan kecerdasan intelektual
seseorang. Maknanya, orang yang memiliki selera humor
yang baik, juga memiliki IQ yang baik pula.
Lebih jauh ia mengatakan,
humor bila dikelola dengan benar juga bermanfaat untuk meningkatkan kualitas hidup seseorang; termasuk juga dapat menjadi kendali
bagi agresivitas yang berlebihan dan kecenderungan-kecenderungan destruktif
lainnya. Fakta dalam kehidupan sehari-hari membuktikan bahwa humor sangat
disukai dan membawa kepada suasana yang lebih menyenangkan. Dalam komunikasi
antarsesama, penyampaian pesan berbalut humor relatif lebih mudah sampai karena
humor bekerja secara tulus sementara doktrin dan otoritas berkecenderungan
menekan atau memaksa. Siiiip, deh, pokoknya!
Dalam pameran yang
bertajuk “Kuburan“ (dari judul sudah
nyleneh dan unik) saya mencatat beberapa hal yang menarik.
Pertama, eksplorasi ruang pamer yang
dinamis dan tidak terikat ruang pamer formal semacam galeri atau gedung kesenian, menunjukkan para kartunis bergerak secara efektif dan efisien dalam
menyapa publiknya.
Kedua, ide-ide yang ditawarkan kreatif dan menggelitik. Itu menunjukkan mereka cukup intens dalam menjalani
profesinya. Tak aneh bila mereka
sering memperoleh penghargaan di tingkat nasional maupun internasional. Itu
juga seakan menjadi bukti bahwa imajinasi lebih kuat
daripada pengetahuan.
Ketiga, andai dedikasi dan prestasi mereka memang
diakui, bukankah mereka juga termasuk aset putra daerah bahkan
bangsa yang termasuk langka. Setidaknya mereka telah menyumbangkan kontribusi nilai dalam
kesenian dan kebudayaan di Kabupaten Kendal.
Bukankah akan menjadi sangat sepadan seandainya Pemda Kendal juga
mengapresiasi kenyataan itu dengan memberikan perhatian atau timbal balik yang
sesuai dengan kebutuhan mereka – misalnya kelompok yang sudah berusia lebih dari 30
tahun namun hingga kini belum memilki sekretariat dan sanggar belajar -- yang tak kunjung dapat mereka realisasikan karena kekayaan
kas yang mereka kumpulkan belum mampu menjangkau ke arah sana. Belum lagi
impian memiliki museum, galeri dan tempat pameran yang notabene dapat menjadi
daya tarik wisata dan merupakan tambahan ikon budaya bagi Kabupaten Kendal
sendiri.
Dari sini kiranya, bahwa
setiap pameran diharapkan bisa menjadi wahana rekreasi dan arena pencerahan bagi
pemirsanya.sekaligus menjadi ajang dialog yang bermuara pada peningkata
kualitas kebudayaan pada
umumnya. Sekian, sugeng mirsani!
Mahmud
Elqadrie, Pemerhati Seni.
Kartun Kuburan, tentunya bukan bukan berarti kartun kokkang wafat..tapi justru kokkang semakin eksis dan semakin diakui di belahan dunia...apalagi kokkang adalah putra daerah yang mengharumkan kaliwungu dan sekitarnya. 31 sudah kokkang dengan segala keterbatasan, kemampuan dan prestasinya sudah sepantasnya departemen terkait (pemda kendal) mengapresiasinya dengan serius. Impian2 ingin mempunya sekretariat moga terwujud dengan ihtiar dan doa kita, amien..
ReplyDelete