Tuesday, January 25, 2011

Mengartun Sebagai Hobi



Kartunis Dwi Koen bersama kartunis dari berbagai negara.
Mengapa gambar kartun yang bagus selalu lucu? Gampang saja jawabnya, karena si kartunis berhasil menampilkan hal-hal yang mengandung kelucuan. Kartun tanpa kelucuan, berarti gagal sebagai kartun. Tak gampang menyebutkan batasan kata berhasil, tetapi setidaknya dalam kata itu terkandung makna: kreatif, orisinal, punya daya kejut, dan mampu mengajak sang penikmat untuk berpikir di samping menghibur.
Kehadiran kartun yang khas di media massa, amat disukai bukan saja anak-anak, remaja, orang tua, bahkan juga kakek dan nenek. Cara berkomunikasi dengan penikmatnya pun juga amat khas. Karena ia bisa mengundang respon penikmat yang amat beragam, di samping sekaligus melontarkan berbagai hal yang tak perlu dijelaskan dengan kata-kata.
Kehadirannya sekaligus bermakna lebih dari seribu kata-kata. Karena kartun menembus alam pemikiran penikmatnya lewat celah-celah yang tidak lazim. Sebagaimana kita mempelajari sesuatu dari sebuah buku ilmu pengetahuan misalnya; dia masuk secara ajaib. Tak terasa, tahu-tahu pengetahuan kita bertambah.
Kartun yang baik, umumnya tidak pernah menghakimi, tetapi sang penikmat merasakan sentuhan-sentuhan keadilan. Tak pernah memaksakan doktrin atau ajaran tertentu, tetapi si penikmat sadar agak berkurang bodohnya.

Hanya sayang, dia juga punya sisi tertentu yang tidak disukai oleh orang yang dijadikan obyek; yakni sifat kenakalannya yang suka jahil, menonjok, mengejek dan menyindir. Namun bagi orang-orang yang pede dan berjiwa besar, menghadapi kenakalan kartun seperti itu cukup dengan tawa. Maka segalanya akan cair dengan sendirinya.

Asal Usul Kartun
Kalau mau lebih jelas dan lengkap mengetahui sejarah asal-usul kartun, maka cara yang terbaik adalah membalik-balik ensiklopedi Britanica, Americana atau New Book of Knoledge. Pada bab tentang cartoon, kita bakal disodori informasi yang cukup lengkap dan bikin kenyang mata. Secara pintas-kilas dapat dipaparkan di sini, kurang lebih tahun 1842, Ratu Victoria (Inggris) mengadakan sayembara rancangan gedung parlemen yang baru di London. Peserta lomba pun membuat desain dan mengirimkannya; tanpa terduga sebagian di antaranya punya selera yang agak nyeleneh. Banyak dari rancangan yang masuk berbentuk aneh dan lucu-lucu. Sehingga seorang satiris kenamaan, John Leech, begitu geli dan tergelitik menyaksikannya.
Sejak itu ia terangsang untuk membuat gambaran-gambaran sindiran yang dia beri nama cartoons. Padahal waktu itu istilah cartoon adalah nama buat gambar yang masih berupa corat-coret yang kalau sekarang kita lebih mengenal sebagai sketsa. Cartoon itu sendiri berasal dari bahsa Italia cartone, yang artinya kira-kira sama dengan kertas. Semula istilah kartun benar-benar berarti serius dan hadir dari kawasan seni rupa di zaman Renaissance.
Rupanya karena ulah John Leech-lah yang mula-mula mempopulerkan lewat majalah Punch dengan judul cartoons untuk gambar-gambar sindirannya, hingga kini orang lalu cenderung lupa pada arti semula, dan ikut-ikutan memberi suasana yang agak menceng bagi istilah kartun. Jaya Suprana juga pernah menulis mengenai hal ini panjang lebar di sebuah penerbitan daerah pada tahun 1980-an.
Sementara itu sumber lain mengatakan bahwa penemu kartun modern adalah William Hogarth, seniman Inggris yang hidup antara tahun 1697-1764. Hogarth meneropong keganjilan-keganjilan yang ada di masyarakat. Tabiat-tabiat yang munafik, kedunguan yang bersembunyi di balik sok pintar.
Karakter-karakter yang digambarkan Hogarth universal, sehingga gambarannya bukan hanya bisa dinikmati oleh orang-orang Inggris dengan latar belakang budayanya yang khusus, melainkan juga bisa dinikmati oleh semua bangsa.
Penerus Hogarth adalah Thomas Rowlandson, seniman Inggris pula hidup antara tahun 1756-1827. Berbeda dengan Hogarth, Rowlandson lebih mengutamakan mutu gambar atau teknik drawing-nya. Imajinya yang kaya meloncat amat jauh, sehingga hasil garapannya cenderung berlebih-lebihan. Membuat muka manusia misalnya, di tangan Rowlandson bisa menjadi hidungnya terlampau panjang, gigi meranggas ke luar atau pipi kedodoran. Jenis kartun yang dibuat olehnya kini populer dengan istilah “karikatur”. Yang dalam bahasa Inggris disebut editorial cartoon. Karena di samping mengejek salah satu tokoh yang populer di masyarakat, juga ikut berkiprah dalam rangka mendampingi berita-berita yang berisi kritik.
Kartunis lain, yang saat itu dianggap paling jago adalah Honore Daumier (1808-1879). Dia terkenal lucu sekaligus mampu menyuguhkan serangan-serangan (kritik) yang menggigit. Sehingga berulangkali keluar masuk penjara. Tetapi kerja Daumier yang khas itu telah meninggalkan bekas yang amat mendalam bagi dunia persuratkabaran. Sehingga editorial dalam bentuk kartun menjadi alat pemberita yang tetap ada pada banyak surat kabar dan majalah hingga sekarang.
Perkembangan berikutnya, kartun memisah ke jurusan dan alirannya masing-masing. Misalnya untuk kartun yang sekadar melucu dengan tema universal, terpisah dari kartun yang mengkritik suatu peristiwa atau tokoh yang hangat di masyarakat;  terpisah pula dengan kartun gerak, yang kini muncul dalam bentuk film atau animasi.

Buat Apa Kartun?
Kita hidup tentu tidak sekadar menjalankan siklus: hidup, bekerja, makan dan tidur saja. Tetapi juga butuh sesuatu yang lain. Makanan rokhani, misalnya. Bisa dalam bentuk pengetahuan, kesenian, atau yang lainnya. Pada kartun, semua unsur itu masuk di dalamnya. Bahkan filsafat.
Sepanjang ini dibutuhkan manusia, sepanjang itu pula kartunis berkarya.
Beruntung sekali seandainya kita punya bakat mengartun. Karena sebagaimana kartunis-kartunis dunia, kepandaian ini tidak sekadar berhenti sebagai hobi saja, tetapi sekaligus sanggup mengantar sang senimannya hidup secara berkecukupan. Bahkan di  negara-negara yang sudah maju, kartun tidak sekadar alat untuk menghibur masyarakat dengan semangat idealisme yang tinggi, tetapi telah menjadi semacam komoditi/ perdagangan; sehingga di Amerika Serikat, banyak kartunis hidup dalam keadaan teramat berlebihan alias multimilyarder.
Di Indonesia, bagaimana?
Mengkomersialkan seni masih dianggap tabu, tak terkecuali seni kartun. Maka perjalanan hidup para kartunisnya, bagi yang tidak mengikatkan diri pada salah satu penerbitan, cukup puas menanti datangnya honor dari karya yang dimuat. Sebenarnya honor untuk kartunis Indonesia pada beberapa media massa cukup memadai, hanya sayang beberapa media yang semula aktif menyediakan ruang tersebut, kini tidak lagi. Kecuali beberapa yang masih gigih dan memberi kesempatan tumbuhnya kartunis-kartunis muda.
Beberapa kartunis muda yang mengartun di seling kesibukan studinya, mengatakan bahwa kegiatan itu banyak membantu pembiayaan studinya. Honornya bukan cuma cukup buat beli buku atau alat-alat sekolah, tetapi juga bisa untuk sandang dan pangan alias untuk nafkah hidup.
Hal ini dibuktikan oleh beberapa mahasiswa yang bisa kuliah dari hasil kartunnya. Hanya saja tuntutan konsekuensi dari pilihan itu juga tidak main-main. Semangat berkarya yang ajeg, dan kreativitas yang memadai. Mau coba? Boleh.

Bagaimana Kartun dibuat?
Modalnya sederhana, bisa menggambar dan punya ide-ide bagus tentang segala sesuatu yang mengandung kelucuan. Lalu ambil kertas putih (kertas gambar Padalarang atau kertas foto copy) lalu goreskan pena/spidol hitam di atasnya. Membentuk tokoh dalam adegan/suasana tertentu, yang penting mengungkapkan kelucuan. Maka jadilah dia karya kartun. Sesudah itu? Kirim saja ke media massa yang dikehendaki. Gampang toh?
Lalu ide tentang apa saja yang layak diangkat ke dalam kartun? Tentang apa saja bisa divisualkan. Kehidupan sehari-hari di kantor, di pasar, di terminal, di bioskop, di rumah tangga dan lain-lainnya. Tentang dokter dan pasien, tentang atasan dan bawahan, tentang guru dan murid, tentang penjahat dan polisi. Tentang suami dan istri.
Ada sepasang suami istri berjalan beriringan di trotoar. Ketika melewati sebuah toko pakaian serba ada, yang etalasenya memamerkan mode-mode pakaian mutakhir, sang suami dari jauh berpikir bagaimana menyelamatkan anggaran. Soalnya sang istri amat doyan mode. Akhirnya begitu sampai di depan toko, buru-buru sang suami dengan suara keras menunjuk ke arah lain sambil mengatakan ada pemandangan yang amat menarik. Hasilnya? Sang istri tak pernah tahu bahwa dia telah melewati tempat yang tak mungin di-sia-sia-kannya seandainya ia tahu.
Semua itu akan menjadi menarik atau tidak menarik, semata-mata tergantung pada ide/isi yang terkandung dalam kartun dan bagaimana penggarapannya. Contoh atau tema di atas adalah kartun jenis gag cartoon; bukan karikatur.
Memilih hobi akan lebih bijak bila tak boleh sekadar hobi, tetapi dengan dasar pertimbangan yang sehat. Apalagi jika hobi itu juga mampu menjembatani si pemilik hobi ke arah profesi. Betapa, akan menyenangkan dan juga menghasilkan.

Darminto M Sudarmo - dimuat di Majalah MOP th 1982-an

0 comments:

Post a Comment

Tuliskan komentar atau pendapat Anda di kolom ini kemudian klik Preview atau langsung Publish!